#1
Jangan sampai ada yang tahu kalau kita adalah pasangan suami istri, kecuali orang-orang yang berhadir di acara pernikahan kita.•••
"Ana, perkenalkan dia Gabby. Gabriella Rhodes." Killian mempersilakan kami untuk berjabat tangan. Dia pasti wanita yang dimaksud Killian tempo hari, yang menarik perhatiannya.
Aku menggenggam tangan yang halus itu dengan erat, serta tidak lupa menghadirkan senyum sebagai etika berkenalan. "Senang bertemu denganmu," adalah kalimat yang tidak pernah absen diucapkan oleh siapa pun kepada orang yang baru mereka temui. Meski kenyataannya pertemuan itu tidak benar-benar diharapkan.
Namun, dalam kasusku, takada masalah. Aku memang ingin menemui wanita ini, yang berhasil menarik rasa penasaranku. Dan aku tidak akan berbohong kalau wanita yang lengannya menempel erat dengan Killian ini benar-benar memesona. Baru melihat saja, aku sampai tercengang. Tersenyum pun minder, karena sudah dipastikan kalah cantik.
Aku tidak tahu dia lebih tinggi dariku atau tidak karena dia memakai hak dan saat ini dia hanya lebih tinggi sedikit dariku. Sedangkan aku hanya mengenakan sneakers. Rambut panjang bergelombang dengan volume penuh itu dibiarkan terurai, pasti sangat halus. Porsi tubuhnya bagus, meski memakai jeans dan atasan rajut, lekuk tubuhnya tercetak jelas. Bukan tipe tubuh model, tetapi mengingatkanku pada jam pasir. Biasanya pria Amerika sangat menggilai bentuk tubuh seperti itu.
Killian mungkin pria Inggris, tetapi aku yakin dia juga tergoda.
"Killian bercerita banyak tentangmu," ucapnya begitu jabatan tangan kami berakhir.
Aku sering mendengar kalimat itu ketika seorang teman memperkenalkanku dengan teman yang lain. Namun, yang satu ini aku agak sulit memercayainya. Tenang saja, aku akan merespons dengan baik kali ini.
"Oh, ya? Apa saja? Kuharap bukan sesuatu yang memalukan."
Gabby melirik Killian, seolah-olah meminta pertolongan. Sudah kuduga Killian tidak akan serepot itu bercerita panjang lebar tentangku kepada orang lain, apalagi kepada seseorang yang baru beberapa kali menghabiskan waktu dengannya. Dia bukan orang yang suka membicarakan orang lain.
"Banyak, Ana, kau harus tahu betapa aku sangat bangga kepadamu." Killian bersikap natural, membenarkan ucapan Gabby. Sayang sekali, aku tidak bisa dibohongi.
Ya, sudahlah. Aku hanya merespons dengan anggukan ringan.
"Semua itu milikmu? Kau yang membuatnya sendiri?" Aku berbalik, mengikuti arah telunjuknya. Dia memandang tiga baju yang dipasang di manekin dengan tatapan memuja. Sisanya hanya kami gantung di rak di sebelah manekin tersebut.
"Membuat adalah kata yang kurang tepat. Aku menggambarnya untuk kemudian dijahit bersama mereka. Ilustrasi yang kugambar tidak akan jadi seperti itu tanpa bantuan orang-orang yang hebat." Aku tersenyum puas. Reaksi Gabby membuatku bangga dengan rekan kerja yang kumiliki saat ini.
"Aku pasti akan membeli baju-baju itu kalau dijual, berapa pun harganya."
Kedua alisku spontan naik hanya karena dia berucap seperti itu dengan mantap. Namun, aku tidak cukup senang mendengarnya. Gabby baru saja membuktikan kalau dia memiliki banyak uang. Entah itu karena gajinya yang besar, atau sebelum bekerja, dia sudah hidup berkecukupan. Aku lebih yakin pada opsi kedua.
"Aku tidak suka menjual sampel pertama, Gabby. Tak peduli kalau aku sedang memerlukan uang dan kau menawarkan harga fantastis sekalipun. Itu prinsipku."
Aku suka menyimpan rancangan pertama dari busana-busanaku. Di California, aku punya ruangan khusus kecil, a closet room, untuk menyimpan mereka. Terkadang aku perlu terus disadarkan tentang sejauh mana usahaku, dan selama ini cukup berhasil menyadarkanku bahwa hasil yang kukerjakan masih belum ada apa-apanya, belum cukup memuaskan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catching Feelings [✔]
Poesía#MarriageSeries Pernikahan menjadi dambaan setiap orang, Ana tahu itu. Namun, sebagai seorang wanita karier yang memiliki target pencapaian dalam hidupnya, Ana tidak bisa memenuhi keinginan orangtuanya untuk segera menikah. Sayangnya, takdir sedang...