75 - I Love You Eternally [END]

2.9K 69 30
                                    

"Kau yakin soal ini?"

Emma datang ke kamarku setelah kami sarapan bersama. Oh, aku bahkan menyelesaikannya lebih awal karena keheningan yang tercipta di meja makan membuatku merasa menjadi sumber masalah.

Sejak tadi malam, mereka tidak bicara denganku. Hanya sapaan pagi dan Dad sempat bertanya bagaimana kondisiku setelah mengalami keguguran. Dan, ya, tidak ada yang perlu dia cemaskan lagi setelah kukatakan kondisiku sudah baik-baik saja. Aku tidak mengerti apakah itu kekecewaan, atau ketidakpedulian, atau merasa aku sudah cukup dewasa untuk menyelesaikan masalahku sendiri. Bahkan kalau aku ingin menarik keluar akar dari masalah kami, aku akan dengan senang hati menyalahkan orang tua kami yang membuat pernikahan itu terjadi.

Aku memandang Emma sebentar sebelum kembali mengemas barang-barangku ke koper. Aku tidak berniat berlama-lama di sini, jadi aku tidak ingin ada terlalu banyak barang yang keluar dari koperku. Rencananya aku akan kembali ke New York begitu keputusan dibuat dan terdapat perkiraan jadwal untuk menuntaskan proses perceraian kami.

Bercerai ... memikirkan kata itu saja sudah membuatku benar-benar gelisah.

"Kau dengar keputusan mereka semalam, bukan?" Aku berucap sekenanya.

Satu jam lagi, aku akan pergi bersama Killian menemui pengacara kenalannya yang akan membantu kami. Ayah Killian juga mengatakan sesuatu tentang mempercepat proses perceraian kami, tetapi belum ada kabar sampai sekarang. Aku tidak tahu apakah Killian sudah memberi tahunya bahwa berkasnya sudah diajukan, aku juga belum bertanya padanya karena kami belum bertemu setelah kutinggalkan dia sendirian di rumah makan semalam.

"Tindakan kalian itu bodoh. Sungguh bodoh. Kalian saling mencintai, tapi--"

"Sudahlah, Em. Aku membiarkanmu ikut bukan untuk membuatku tambah pusing." Aku menarik ritsleting koperku hingga tertutup rapat.

"Berkasnya masih bisa ditarik lagi, 'kan? Kalian belum mendapat panggilan secara resmi dari pengadilan. Dan wajahmu sangat pucat."

Aku menoleh ke kiri, berkaca pada pintu lemari yang memiliki cermin. "Aku akan seperti ini kalau sedang stres. Bisa ditutupi dengan lipstik yang tebal."

Aku tidak mabuk, tetapi malah meracau untuk membalas ucapan Emma. Mana mungkin aku akan melakukan itu, menutupi kekurangan penampilan dengan riasan yang tebal sama sekali bukan kebiasaanku. Akan tetapi, hanya itu sikap yang cukup masuk akal untuk mengatasi masalah wajah pucat.

"Apa Jaden punya anggur? Atau bir?" Lagi, pertanyaan itu sungguh tidak masuk akal dan aku melontarkannya begitu saja hingga membuat Emma mengernyit kebingungan. "Abaikan saja. Kepalaku pusing, Em. Ingin tidur lagi, tolong bangunkan aku kalau sudah hampir pukul sepuluh."

Tanpa menunggu jawaban Emma, aku melompat ke kasur, menyamankan posisi di sana. Aku cukup sadar bahwa sebanyak apa pun mencoba, aku tidak akan tertidur ketika satu jam lagi akan pergi. Itu hanya alasan agar Emma keluar dari kamarku. Namun, sepertinya itu tidak berhasil, dia masih duduk di sofaku, bahkan sekarang sambil bersedekap.

"Alkohol bukan obat untuk pusingmu. Dan kenapa kau berpikir aku tahu apa yang Jaden punya?"

"Karena kalian bersama semalaman?"

Emma tersipu dan aku melihatnya dari pantulan cermin lemari. Itu akan menjadi penawar situasi buruk bagi orangtuaku jika Jaden dan Emma benar-benar memiliki hubungan. Aku bisa melihat ketertarikan di antara keduanya, sesuatu yang dulu tidak pernah terjadi padaku dan Killian. Ya, mungkin ungkapan cinta yang kami lontarkan kepada satu sama lain sebenarnya memiliki makna yang berbeda, tidak seperti cinta pada umumnya.

"Jangan mengalihkan pembicaraan, Ana. Aku mengenalmu cukup baik. Aku masih berusaha untuk membuat kalian mempertimbangkan kembali. Tarik pengajuannya dan bertahanlah sedikit lebih lama untuk membuktikan keseriusan Killian padamu. Meski sejauh ini sikapnya sudah membuatku percaya."

Catching Feelings [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang