26 - The Promise

753 61 9
                                    

Kami pergi dari rumah selama beberapa hari, sebagai bentuk penolakan. Teman Killian memiliki satu kondominium kecil yang tidak ditempati dan kami menumpang di sana. Aku yang mengajak Killian pergi. Biasanya itu akan berhasil membuat orangtuaku berubah pikiran. Namun, kali ini tidak berhasil. Selama kami pergi, tidak satu pun dari mereka yang menghubungi untuk membujuk kami pulang.

"Killian, apa kau sudah memikirkan sesuatu untuk menolak?" Selalu itu yang kutanyakan pada Killian. Namun, dia selalu merespons dengan gelengan. Aku bahkan tidak yakin waktu itu dia sempat memikirkannya atau tidak.

"Apa kau benar-benar memikirkannya?" Lalu kutanya begitu. Killian tidak tampak berusaha menolak, jadi aku curiga dia tidak berusaha menggagalkan rencana orang tua kami. Walau, ya, apa juga alasannya mau menerima?

"Tentu, Ana. Kau tidak perlu khawatir. Aku hanya ... sedikit sibuk dengan pekerjaan."

Lalu berakhir begitu saja. Aku selalu ingin mengajaknya berdiskusi. Kupikir jalan keluarnya akan lebih mudah didapat jika dibahas bersama-sama, tetapi Killian selalu sibuk dengan dunianya sendiri.

Sampai akhirnya aku menerima pesan dari Jaden.

Jaden
Pulanglah. Kau harus tahu kalau orangtua kita sama sekali tidak merasa khawatir.
Mereka tahu kalian pergi bersama, dan itu membuat mereka makin yakin kalau kalian tidak terpisahkan.
Pulang saja. Akan kita bicarakan bersama.

Dia berperan sebagai seorang kakak yang semestinya saat itu. Sayangnya, tidak berhasil untuk membujukku. Aku masih kukuh tetap di sini sampai punya rencana bagus untuk menolak. Dan, ya, harus menelan kecewa karena Killian tidak berpikir sama kerasnya denganku. Bahkan jika waktu sebulan tidak cukup untuk membuat orang tua kami berubah pikiran, aku rela minggat lebih lama lagi.

"Bagaimana menurutmu kalau aku pura-pura sudah punya kekasih?"

"Siapa yang mau pura-pura jadi kekasihmu?"

"Aku bisa minta tolong pegawaiku."

Killian melayangkan picingan mata ke arahku. Sangat jelas terlihat betapa dia sangat tidak menyukai ideku yang satu itu. "Kau sudah mengaku tidak dekat dengan siapa pun, Ana."

Decakan kerasku menggema di ruangan yang minim furnitur ini. Ruang tengah dan ruang tamu yang menyatu membuat tempat ini terasa sangat luas. Dan aku hanya mendelik tidak suka pada Killian sebelum membawa gelasku ke mesin kopi.

"Aku bisa mengaku baru jatuh cinta dengan seseorang."

"Menurutmu itu cukup kuat?" Killian berhasil mematahkan semangatku dengan pertanyaannya. Dia mungkin tidak bermaksud demikian, tetapi melihat dari betapa semangatnya para orangtua ingin kami menikah, alibi itu tidak akan mereka terima.

"Lalu apa? Aku menunggumu mengusulkan sesuatu, tapi kau justru tenang-tenang saja." Aku kembali ke sofa dan mengempaskan pantat di sebelah Killian. Gelas yang berisi kopi kuletakkan ke atas meja. "Aku ingin merasakan jatuh cinta dulu sebelum menikah. Kau mengerti maksudku, 'kan?"

Killian mengangguk saja sebelum kami kembali diselimuti keheningan. Aku berusaha mengalihkan pikiran dari masalah itu dan memeriksa penjualan dari butik kecilku di ponsel. Sedangkan Killian, seperti biasa, sibuk berkutat dengan pekerjaan di laptopnya. Sepertinya dia tidak berbohong kalau sedang sangat sibuk.

"Bagaimana kalau kita terima saja?"

Aku menyemburkan kopi yang baru kutenggak dan sukses mengotori bantal sofa yang sebelumnya kuletakkan di pangkuan. Demi hal-hal aneh yang kerap membuatku terkejut, kurasa tidak ada yang bisa menandingi betapa mengejutkannya pernyataan Killian.

"Kukira kita sependapat." Aku membalas takjub, dan kulampiaskan pada noda kopi yang sedang kubersihkan dengan tisu.

"Menikah lalu pindah ke New York. Kita tidak perlu bersikap seperti suami istri di sana. Kau tahu kita tidak pernah diizinkan ke luar negeri kalau tidak berdua, 'kan?"

Catching Feelings [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang