25 - H(o)lloween

776 60 7
                                    

"Maaf, aku jadi menumpang berangkat denganmu terus."

Aku menghela napas begitu sabuk pengaman berhasil terpasang. Sudah satu minggu seperti ini, aku menumpang Killian berangkat ke Macy's, padahal berlawanan arah dengan kantornya. Ini terjadi sejak Jaden datang. Dia harus bolak-balik ke tempat dinasnya dan mana mungkin aku membiarkan dia terus-terusan naik taksi? Meski dia sering membuatku mengumpat, tetapi aku juga masih peduli padanya. Mobilku kubiarkan untuk dipakai Jaden.

"Kau mengatakan itu setiap hari, Ana. Rasanya aneh, padahal biasanya kau senang membuatku repot."

Aku menatap Killian sebentar sebelum memutuskan untuk mendaratkan pandangan ke luar jendela di sebelah kananku. Dulu dan sekarang berbeda. Aku tidak pernah berpikir untuk meminta tolong, bahkan akan mendesaknya jika menolak. Namun, rasanya berbeda setelah dia juga dimiliki orang lain. Dan menerima penolakannya akhir-akhir ini lebih menyakitkan daripada dulu.

Killian tidak kunjung melajukan mobilnya dan aku tahu dia sedang menunggu jawabanku. Aku mengangkat bahu sebagai respons sementara sebelum merespons ucapannya.

"Hanya merasa tidak enak, itu saja."

Suara mesin mobil terdengar bersama tawanya. "Aku suamimu, Ana. Tidak wajar kalau merasa tidak enak."

"Mungkin maksudmu suami yang akan menceraikanku?" Aku terlalu serius saat mengatakannya hingga membuat Killian kaget. Aku buru-buru tersenyum agar dia tidak merasa tidak enak.

"Bercandanya tidak lucu. Jangan sering-sering mengungkitnya. Itu membuatku merasa bersalah." Sayangnya, Killian tetap serius menanggapinya.

Aku tidak lagi merespons. Kalau saja rasanya diceraikan akan semenyesakkan seperti mimpi waktu itu, tentu saja aku akan menolak diceraikan. Killian terlalu berarti dalam hidupku dan aku tidak siap kalau dia meninggalkanku. Atau mungkin kubuat dia jatuh cinta saja padaku?

Tidak. Aku tidak punya pesona yang sekuat itu sampai menjadi alasan Killian untuk menyukaiku. Seandainya ada pun, itu pasti sudah terjadi sejak lama. Dia mungkin sudah mengakui perasaannya dan aku pasti tidak akan menolaknya.

Selama seminggu ke belakang, aku kerap dihantui dengan adegan dari mimpi itu. Biasanya aku akan melupakan bunga-bunga tidurku dengan mudah, tetapi kenapa yang satu itu justru melekat kuat sekali di kepalaku? Emma sampai beberapa kali menemukan aku melamun karena memikirkan betapa menakutkannya itu.

Kalau memang itu yang membuat Killian bahagia, seharusnya aku juga turut merasakannya, 'kan? Dia sahabatku, sudah seharusnya kudukung.

Aku tersentak ketika tangan Killian mendarat di bahuku.

"Ana?" Suaranya mengalun terlalu lembut. "Kau melamun."

Aku menggeleng kuat dan menegakkan punggung, memosisikan duduk dengan benar. Bisa-bisanya aku melamun lagi di sini, ketika hanya berdua dengannya.

"Hanya sedikit teralihkan oleh pekerjaan." Aku menjawab asal.

"Sedikit? Kau bahkan tidak sadar kita sudah tiba sejak tadi."

Oh, benar. Bangunan Macy's sudah berada di sebelah kananku. Aku segera melepas sabuk pengaman dan membuka pintu mobil. Namun, Killian tidak membiarkan itu terjadi. Aku terpaksa menoleh ketika dia menahan lenganku. Di detik berikutnya, dia mendaratkan satu kecupan ringan di bibirku. Hanya menempel dan sangat sebentar. Napasku tercekat, terlalu terkejut sekadar untuk memberikan reaksi.

"Kalau ada apa-apa, kumohon jangan disimpan sendiri, Ana."

Aku hanya mengangguk sebelum menarik diri darinya. "Terima kasih, Killian." Dan kali ini dia tidak menahanku lagi saat keluar dari mobil.

Catching Feelings [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang