03 : Jawaban

7.1K 660 34
                                    

Setelah malam pertemuan itu, minggu pagi aku langsung menyerbu Bang Rifki. Di otakku sekarang sudah banyak sekali pertanyaan yang akan aku keluarkan. Tetapi sebelum aku bertanya, Bang Rikfi  terlebih dahulu memulai percakapan.

“Dia Emir senior Abang di kampus sekaligus teman CV Abang, jauh sebelum perjanjian ini muncul kami sudah berteman. Awalnya kita enggak tahu kalau masih ada hubungan saudara, tapi waktu kumpul keluarga besar terakhir di rumah Nenek, baru ketahuan saat dia datang bersama Tok Syahril dan Nek Mirai. Pas reunian akbar kampus, kami bertemu lagi. Dia yang saat itu sudah lulus S2 dan sudah bekerja di salah satu perusahaan di Malaysia, pulang ke Indonesia karena berencana membuka CV, tapi belum menemukan partner yang cocok. Karena kita pernah berhubungan baik dimasa lalu dan masih memiliki hubungan keluarga, dia mengajak Abang dan teman-teman buat join. Dengan modal nekat dan modal yang besar, kami berhasil mendirikan CV yang sekarang Abang pegang,” jelas Bang Rifki.

“Tapi kenapa enggak pernah ke rumah? Setahu Nana hampir semua teman Abang pasti pernah ke rumah dan Nana tahu,” tanyaku heran.

“Bukannya enggak pernah di ajak, tapi karena setiap Abang ajak kerumah pasti ada saja kendalanya. Kadang Abang mikir, mungkin dia segan ke rumah kita, karena masih ada hubungan keluarga tapi jarang berkunjung.”

“Hmm ... begitu ya. Selain itu, apa yang  Abang tahu tentang Emir? Sifat dia bagaimana?”

“Abang Emir, Na, terlepas dia jadi suami kamu atau tidak, dia itu lebih tua dari kamu. Seharusnya dia kita panggil paman, tapi karena keadaannya seperti ini, panggilan Abang masih terdengar sopan.”

“Abang suruh Nana manggil dia dengan  Abang, sedangkan Abang sendiri panggil dia langsung  pakai nama. Curang, gak asik!” balasku dengan bibir mengerucut.

“Kalau itu Emir nya yang enggak mau Abang panggil dengan panggilan Paman atau Abang, malahan dia sendiri yang nyuruh Abang langsung panggil pakai nama. Apalagi kalau kalian nikah nanti, dia itu adik ipar Abang kalau kamu lupa.”

“Siapa yang mau nikah. Nana belum kasi jawaban, ya!”

“Kamu sama Emir lah, siapa lagi. Lagian kamu masih nyari yang bagaimana sih Na? Masih belum move on dari Gery, it's almost nine years, Na! Kamu masih memikirkan laki-laki yang masa bodoh sama kamu?”

“Nana sudah move on, ya, Bang dari Gery. Nana cuma mau tahu Bang Emir itu orangnya bagaimana? Apa yang membuat Abang percaya buat nyerahin Nana ke dia?” Jujur jawaban ini yang aku harapkan dari Bang Rifki.

“Abang kenal Emir jauh sebelum Abang tahu latar belakang keluarga dia bagaimana, kehidupan dia sekarang dan kesuksesan yang telah dia raih. Emir itu sosok laki-laki yang kalau kamu lagi butuh sosok Ayah, dia bisa. Kalau kamu butuh sosok Abang, dia bisa juga. Intinya disegala situasi apapun dia bisa diandalkan.”

Bang Rifki berhenti sebentar, menatap wajahku. “Emir itu bertanggung jawab, sederhana, walaupun kaya tapi tidak pernah menyombongkan kekayaaannya. Malahan anak-anak organisasi pada enggak tahu kalau dia anak orang kaya, karena memang dia enggak pernah nunjukin itu ke kami. Abang saja kalau tidak bertemu dia pas kumpul keluarga juga tidak tahu dia anak orang kaya. Abang mungkin tidak setiap saat akan selalu ada untuk kamu Na, bukan berarti Abang lepas tanggung jawab, bukan. Abang merasa sudah saat nya kamu bahagia, ada yang bisa bantuin Abang buat jagain kamu yang nakal ini. Satu lagi, dia sholatnya tepat waktu dan selalu jama'ah di masjid, itu sih point penting yang Abang lihat dari dia.”

“Adalagi yang mau di tanyain? Abang mau lihat Rumaisya.”

“Dia pernah pacaran enggak Bang di kampus?”

“Dia gak punya mantan pacar tapi punya mantan istri, dia Duda.”

Mendengar jawaban Bang Rifki, seketika aku terdiam merespon setiap kata per kata yang masuk ke dalam otakku.

Suri Hati Mas EmirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang