Special Part 01

5.5K 513 8
                                    

Hai Reana

Saya ambil alih sebentar ya, gak lama palingan 30 menitan. Kamu siap-siap saja dulu.

****

Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran Bapak dan Mak Lung ketika mereka membuat perjanjian antar keluarga begini. Kalau perjanjian biasa tidak masalah, tapi ini perjanjian pernikahan.
Mungkin orang dahulu familiar dengan perjodohan, tapi sekarang rasanya sudah tidak banyak yang melakukan perjodohan.

Ibuk mengatakan bahwa diantara saya atau Ghani yang akan menjalankan perjanjian ini. Ghani sendiri belum ada niat untuk menikah, entah apa lagi yang dia tunggu. Tanpa berpikir dua kali saya menyanggupi perjanjian ini.

Saya tidak ada alasan untuk menolak, dengan status duda dan umur yang sudah kepala tiga. Lantas apa yang saya cari. Saya duda tanpa anak, jadi tidak ada yang menghalangi.

Pertemuan pertama kami berjalan dengan lancar, dia memang terlihat sedikit enggan untuk melakukan perjodohan ini, tapi siapa lagi yang akan melakukan ini selain dia. Terlahir sebagai anak bungsu dan belum menikah, tentu tidak punya pilihan untuk menolak.

Hari ini, pertama kalinya kami jalan berdua, lebih tepatnya bertiga sama si sulung Rifki. Awalnya saya meminta izin ke Rifki untuk jalan bersama Reana, tapi ditolak karena belum boleh berduaan. Ini kita cuma mau jalan, bukan mau macam-macam. Kalau tidak mengingat dia calon Abang Ipar, entahlah.

Saya mengajak Reana bertemu karena ada satu hal penting yang harus saya beritahu. Awalnya dia menolak bertemu, tapi entah kenapa, dengan secepat kilat berubah pikiran. saya sampai di rumah Rifki jam delapan lewat empat puluh, lebih cepat dari janji saya dengan Reana.

Saya sampai Reana dan Syafiq sudah siap, tetapi Rifki mengatakan ingin berbicara hal penting. Kami melipir ke ruang kerja Rifki, di sini hanya ada sofa, meja kerja dan kursi. Di dinding berjejer banyak sekali foto, yang menarik perhatian saya adalah foto anak perempuan berambut ikal sedang tersenyum kearah kamera sehingga terlihat gigi ompong di gendong oleh bocah laki-laki. Kalau saya tebak pasti Reana dan Rifki.

Rifki langsung mengambil foto tersebut dan menatap dengan lekat.

“Nana ditinggal Ayah saat umur 2 tahun. Saat itu dia tidak tahu apa-apa, bahkan ketika semua orang menangis termasuk Bunda. Nana tumbuh tanpa sosok Ayah, hanya mengenal Bunda, Kakak dan saya sebagai Abang. Nana kecil tidak pernah bertanya dimana Ayah kami, seakan dia paham bahwa Ayah tidak akan kembali. Nana kecil tidak pernah diantar Bunda ke sekolah, tidak pernah diambilkan raport bahkan sampai tamat SD. Bunda subuh-subuh sudah ke pasar bersama kak Raras, di rumah tinggal kami bertiga. Saya menjaga warung dan bergantian dengan Kak Rindi menjelang Bunda pulang.”

“Nana sudah mandiri sedari kecil. Kalau teman sebayanya pergi dengan rambut dikepang, Nana pergi dengan rambut basah. Nana tidak pernah mau memanjangkan rambutnya dengan alasan gerah. Sebenarnya bukan itu alasannya, Nana merasa tidak ada yang akan mengepangkan rambutnya. Kak Rindi sebenarnya bisa dan pernah akan mengikat rambut pendek Nana, tapi ditolak dengan alasan tidak rapi.”

“Diantara kami berempat, Nana yang paling pintar dan paling banyak juga uang jajan nya. Karena tinggal ambil sendiri di laci. Walaupun demikian, Nana tidak manja dan menyusahkan kami. Ketika dia memutuskan kuliah keluar kota, kami sempat menolak dengan alasan tidak ada yang mengawasi. Dia hanya perlu di percaya, begitu katanya. Nana berhasil kuliah di luar kota walau terlambat waktu kelulusan.”

“Dari kecil sampai sebesar sekarang, Nana tidak pernah menyusahkan kami, dia selalu menyelesaikan masalahnya sendiri. Kalau kita tidak pandai-pandai melihat keadaan, Nana tidak akan mau cerita. Nana memang sedikit keras kepala, manja sampai kadang-kadang berebut kinderjoy dengan Rumaisya.”

Suri Hati Mas EmirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang