40 : Kebahagiaan Perlahan Menjemput

1.8K 178 1
                                    

Ditengah kesedihan yang kami alami, ada kebahagiaan yang sebentar lagi menghampiri. Memasuki kandungan bulan ke sembilan, aku harus extra hati-hati terlebih tidak boleh banyak pikiran. Tiga minggu setelah Bunda meninggal, aku harus dilarikan ke rumah sakit dan mendapat penanganan serius karena kembali jatuh pingsan karena kondisiku yang semakin menurun. Alhamdulillahnya kandunganku tidak apa-apa.

"Sayang, coba sini lihat Mas sebentar."

Aku menoleh setelah termenung panjang. "Mas boleh minta tolong?" Aku mengangguk menjawab. "Tolong, sekarang kamu tidak usah mikirin yang aneh-aneh, fokus sama anak kita saja ya. Mas tahu kita baru saja kehilangan Bunda tapi berlarut-larut dalam kesedihan juga tidak baik. Daripada menangis sebaiknya kita do'akan Bunda." Mas Emir menghapus air mataku yang kembali menetes. "Mas mohon, setelah ini jangan sedih-sedih lagi ya, kamu tidak sendirian, ada Mas, Ibuk, Rifki dan yang lain. Kita semua ada untuk kamu."

"Nana... Nana cuma rindu bunda, Mas."

"Iya, tidak apa-apa rindu, wajar. Tapi jangan mengabaikan kesehatan kamu. Ingat..." Mas Emir mengelus permukaan perutku yang sudah terlihat semakin membesar, "disini ada anak kita, dia akan sedih kalau Umma-nya juga sedih. Mas tidak mau kalian kenapa-napa."

"Nana minta maaf... akh," aku meringis ketika kurasakan kram dibagian bawah perutku. Sebenarnya daritadi subuh aku sudah mulai mules dan merasakan sakit di bagian bawah perut, tapi intensitas nya tidak begitu sering, bisa jadi itu kontraksi palsu.

"Kenapa, Na. Apa yang sakit?"

"Pe-perut Nana Mas, sakit."

"Ya Allah," bisa kulihat wajah cemas Mas Emir. "Kuat berdiri? Atau mau Mas gendong?" tanya Mas Emir beruntun.

"Nana masih kuat jalan, t-tapi Mas Emir ambil dulu tas persalinan di lemari." Disaat begini, otak cerdasku masih berfungsi ternyata.

Tanpa banyak bicara, mas Emir langsung mengambil tas persalinan yang sudah jauh-jauh hari kami persiapkan. Mas Emir membantuku keluar dari kamar dan menuju mobil. Dalam perjalanan menuju mobil, perutku rasanya tegang sekali. Seakan-akan mau meledak.

"Mas jangan ngebut, Nana masih bisa tahan."

Dalam perjalanan menuju rumah sakit, tak henti-hentinya aku mencoba menahan rasa sakit yang sudah menjalar di sepanjang pinggang dan bagian bawah perut. Aku juga berusaha mensugesti anak dalam kandunganku untuk bisa bekerjasama.

"Tahan sebentar ya, sayang," ujar Mas Emir menenangkan. Aku sudah tidak bisa berkata-kata lagi selain meringis menahan sakit.

Begitu sampai di rumah sakit aku langsung ditangani. Kata dokter aku sudah pembukaan dua, masih ada delapan bukaan lagi. Setelah mendapat penanganan tadi, mules di perut perlahan berkurang, aku sudah bisa bergerak sedikit demi sedikit. Sama dokter disuruh makan, biar ada tenaga nanti pas lahiran. Oiya, tadi dokter juga mengatakan sejauh ini masih bisa menggunakan cara normal, selagi semuanya masih baik-baik saja.

Ibuk sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Tadinya kami tidak ingat untuk mengabari siapa-siapa, kami semacam orang linglung. Syukurnya ada perawat yang memberi tahu kami untuk menghubungi anggota keluarga setelah menanyakan keberadaan kami di sini merantau atau tidak. Katanya disaat seperti ini, ibu hamil butuh dukungan dari anggota keluarga terutama orang tua.

"Mau jalan-jalan lagi?" tawar Mas Emir.

Tadi aku juga disuruh banyak gerak dalam artian yang tidak begitu melelahkan, seperti mondar mandir di dalam ruangan.

"Nana mau buah saja, Mas."

Tak lama ibuk masuk setelah mengucapkan salam. Terlihat wajah cemas beliau. "Nana... ya Allah. Sakit perutnya?" tanya Ibuk cemas.

Suri Hati Mas EmirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang