27 : Pembicaraan Ibu-ibu

3.2K 404 17
                                    

Warning Guys!

___________________________________________

"Mas Emir Sayang..."

"Iya, Kenapa, Na?"

"Nana mau ini," tunjukku kearah layar yang menampilkan sushi.

"Ya, belilah."

"Uangnya?"

"Biasanya kamu kalau jajan, dapat uang dari mana?"

"Dari dompet Mas Emir."

"Nah, itu kenapa nanya-nanya?"

"Nana tadi sudah nyari, tapi nggak ketemu."

"Kan dompet Mas kamu terakhir yang pegang, Na?"

"I-iya... tapi Nana lupa..."Aku memasang wajah seimut mungkin, mudah-mudahan Mas Emir luluh.

"Serius, Na?"

"Iya, kalau ada nggak akan Nana panggil Mas," dengusku kesal.

"Saldo GO-PAY nya gak cukup?" tanya Mas Emir berusaha tidak panik.

"Enggak."

"Ya sudah, pesan saja. Nanti kalau kurir nya sudah datang panggil Mas."

"Oke, Mas terbaik deh."

Mas Emir tak menjawab, kembali masuk ke ruang kerja. Sedangkan aku bersantai dengan Mochi dipangkuanku.

"Mochi masam!"

"Mochi bau!"

"Mochi jelek!"

"Mochi galak!"

"Moch... Aduh!"Aku segera menjauhkan Mochi dari wajahku, perih kena cakaran nya.

"Mas Emir..." Aku berteriak memanggil Mas Emir dengan suara bergetar menahan tangis. Aku bukan lebay tapi ini beneran sakit.

Mochi yang berada dibawah ku hanya menatap tanpa rasa bersalah.

"Mas Emir, sini dulu..."

Tetap tidak ada jawaban. Aku sudah menangis menahan pedih, apalagi kalau terkena air mata. Semakin pedih.

Aku beranjak memasuki ruang kerja Mas Emir. Ternyata dia sedang di depan komputer entah melakukan apa.

"Mas..."

Mas Emir langsung menatapku dengan penuh tanya apalagi melihat aku menangis begini.

"Na... diam disitu!" perintah nya.

Aku menurut sesekali menghapus air mata yang jatuh.

"Kita istirahat dulu. Nanti disambung lagi." Mas Emir menutup pembicaraan.

"Sini." Mendengar perintah Mas Emir, aku pun langsung mendekat dan tangisanku semakin kencang. Kenapa cengeng begini sih!

"Kenapa nangis?" ucap Mas Emir sambil mengusap air mataku.

"Ini kenapa luka, begini?" sambung nya lagi.

Aku tak menjawab, masih asik menangis.

"Ya sudah, nangis saja dulu." ucap Mas Emir sambil mengelus lembut punggungku.

"Mochi... Mochi nakal!" ucapku berapi-api dengan sesegukan.

"Nakal kenapa?"

"Ini," aku menunjuk bekas cakaran Mochi yang hampir mengenai mataku. "Ini Mochi yang cakar, sakit Mas."

Mas Emir mengusap air mataku, mengelus bekas cakaran Mochi.

"Kok bisa sampai dicakar begini?"

"Nana cuma cium seperti biasa, tapi Nana... dicakar," ucapku sambil menangis.

Suri Hati Mas EmirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang