13 : Distance

5K 454 2
                                    

Tiga hari sudah kami menginap di rumah Bunda. Aku belum mau pulang dan entah sampai kapan. Selama di rumah Bunda, aku hanya di dalam kamar, keluar kalau Mas Emir sudah pergi kerja, itupun aku hanya duduk di depan teve atau sekedar bermain dengan Rumaisya dan Syafiq.

Tiga hari ini, aku mengalami flek yang di katakan dokter. Mas Emir tadi nya akan membawa ku kerumah sakit, tapi ku tolak karena ini memang biasa pasca keguguran. Interaksi kami juga sedikit berkurang tiga hari ini, aku yang lebih tepat nya bungkam. Aku akan bicara seperlunya dengan Mas Emir, dan setiap dia mulai bercerita aku akan menanggapi tak jarang pula mengabaikan nya.

"Nana"

Aku baru mandi dan keramas. Bunda masuk kedalam kamar dan duduk di atas kasur kami.

"Nana mau kemana?" Tanya Bunda melihat ku mencari baju gamis yang akan aku pakai.

"Nana mau ketemu teman Bun"

"Siang-siang begini?"

"Iya, soalnya besok Nana sudah mulai ngajar. Bisa nya ketemu siang ini"

Mas Emir tanpa sepengetahuan ku mengajukan cuti ke Yayasan dan hanya di kasih cuti selama tiga hari.

"Sendiri apa sama Emir?" Tanya Bunda sekali lagi.

"Sendiri Bun, Mas Emir kan masih kerja"

"Minta antar saja, pasti dia mau. Kamu baru sembuh Na"

"Gapapa Bund. Nana bisa"

"Na, kamu masih marah sama Emir?"

Pertanyaan Bunda yang membuat ku langsung berhenti menyisiri rambut. Jujur, aku tidak marah kepada Mas Emir, hanya saja, aku merasa kecil hati apalagi melihat wajah nya. Aku gagal menjaga anak kami bahkan sampai tidak tahu keberadaan nya. Di bandingkan marah kepada Mas Emir, aku lebih marah kepada diri sendiri. Aku gagal menjadi istri dan ibu sekaligus.

"Nana gak marahan sama Mas Emir Bun, Nana lagi berusaha menerima semua ini"

"Dengan mendiami Emir seolah-olah dia yang buat kamu keguguran? Bunda tahu sedih nya kehilangan anak bagaimana, karena dulu Bunda juga pernah merasakan. Tapi Bunda tidak mendiamkan Ayah kalian dan menyalahkan semua nya kepada dia.  Bunda tahu, selain Bunda, Ayah kalian juga sama sedih nya. Tapi dia harus tegar demi Bunda, seolah-olah tidak ada kesedihan yang menimpa"

"Bunda cuma mau menasehati anak Bunda, kalau ini tidak benar Na. Kamu keguguran bukan salah Emir atau siapapun, ini sudah garis takdir Allah. Ini ujian untuk pernikahan kalian, mampu atau tidak kalian melalui ini. Bunda sebenarnya sudah dari kemarin ingin bilang ini melihat sikap kamu ke Emir, tapi Bunda tahan mengingat kamu masih belum pulih. Tapi hari ini, melihat kamu sudah sehat Bunda tentu senang. Bunda hanya tidak ingin anak Bunda durhaka kepada suami dan menyesal kemudian. Disaat begini, kalian harus saling menguatkan Na. Kalian sama-sama terluka, sama-sama baru kehilangan, maka kalian juga yang harus berjuang untuk bangkit lagi"

Setelah mendengar kata-kata Bunda, aku menjadi semakin bersalah. Aku tahu aku kekanak-kanakan, tapi aku juga bingung mau mulai dari mana. Semua yang Bunda katakan benar, aku memang terkesan dingin kepada Mas Emir tapi bukan kehendak ku juga.

Setelah siap aku langsung berpamitan kepada Bunda dan melajukan motor scoopy yang sudah lama tidak ku pakai. Bunda tadi menyarankan aku untuk membawa mobil atau sekedar naik Grab car tapi ku tolak, aku hanya akan bertemu teman di kafe dekat sini.

Aku bertemu teman lama, lebih tepatnya teman semasa kuliah. Kami beda jurusan tapi satu kost.

"Jadi kamu sudah Nikah Ma?"

"Sudah, tapi akad dulu di kampung, resepsi rencana nya dua bulan lagi di sini"

"Selamat Kama, akhir nya kita menikah juga ya" Ucap ku memeluk nya senang.

Suri Hati Mas EmirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang