41 : Noor Nabeela Syahril

2K 174 5
                                    

Jari-jari mungil itu terlihat mengeliat ingin keluar dari bedongan. Pipi bulat seperti donat yang sering aku makan ketika hamil, bibir merah cerry dan rambut hitam lebat sedikit ikal. Kalau orang-orang yang pertama kali melihat dia pasti langsung bilang "wah, ini seratus persen anaknya Emir." Aku yang mendengarnya sudah tentu miris. Begini ternyata nasib ibu yang sembilan bulan mengandung tapi pas keluar malah mirip bapaknya semua.

"Persis bapaknya, gak mau dibedong," ujar Ibuk ketika memperbaiki kembali letak bedong yang membungkus cucunya.

"Kepanasan dia, Buk. Lagian gak di bedong juga gak apa-apa kata dokter." Itu bukan aku yang berkata tapi penyumbang DNA terbesar di tubuh anakku yang menjawab perkataan ibuknya. Aku hanya menyaksikan dua generasi tersebut meributkan hal-hal kecil. Kalau biasanya menantu dan mertua yang sering bertabrakan dalam hal mengasuh anak, tapi tidak berlaku denganku. Mas Emir lebih cerewet daripada aku kalau menyangkut anaknya.

"Tau apa kamu, dulu kamu juga Ibuk bedong! Tuh lihat jalanmu lurus gitu!" Aku berusaha menahan tawa, menjadi sebuah hiburan melihat ibu dan anak meributkan perihal bedong membedong.

"Ya sudah, terserah ibuk." Tuh lihat, akhirnya Mas Emir mengalah juga. Pokoknya kalau laki-laki berdebat dengan perempuan makanya laki-laki jangan harap bisa menang apalagi berdebat dengan ibu sendiri, dosa yang ada.

"Sayang," Mas Emir mendekati, mengulurkan ponselnya kepadaku. "Kita pakai jasa yang ini saja ya?" Di layar terpampang portofolio sebuah event organizer dimana menampilkan dekorasi aqiqahan. Rencananya kami ingin mengadakan acara aqiqahan si kecil yang masih berusia dua minggu. Tadinya mau diadakan pas si kecil berumur seminggu tapi kata Ibuk, biar aku lebih baikan dulu makanya diadakan seminggu kemudian.

"Bagus kok, Nana mau warna peach dan putih ya, Mas. Kalau pun peach tidak ada, putih kuning juga boleh."

"Kamu aja ini yang chat, Mas mana tau begituan."

"Jangan lupa lo, Na. Nama anakmu di ketik yang benar, jangan sampai kejadian kayaknya bapaknya dulu. Seharusnya O nya dua malah diganti U."

"Iya, Ibuk."

"Nah sekarang puas-puasin lihat rambut Nabeela, soalnya besok mau dibotak," ujar Ibuk menimang Nabeela.

Noor Nabeela Syahril. Nama yang Mas Emir berikan dua jam setelah aku melahirkan. Tidak kreatif memang, karena cuma mengganti nama tengah saja tapi aku suka. Simpel dan cantik.

"Loh loh kok cemberut, mau mimik ya sayangnya Nenek?" Aku melihat interaksi Ibuk bersama Nabeela, andai Bunda masih ada, pasti Bunda sama senangnya seperti Ibuk.

"Sayang," panggil Mas Emir membuyarkan lamunanku. "Mikirin apa? gak boleh melamun."

"Enggak ada Mas, Nana senang aja Nabeela anaknya gak rewel."

Tak lama terdengar suara tangisan Nabeela, Ibuk segera memberikan Nabeela kepadaku untuk disusui.

"Anaknya Umma cantik banget sih, bagi-bagi dong bulu mata lentiknya." Aku menyentuh bulu mata lentik yang sekali lagi turunan dari Mas Emir. "Duh, haus banget ini keliatannya."

Acara akikahan berjalan dengan lancar. Nabeela juga tidak begitu rewel. Oiya, selama masa nifas, aku di boyong Ibuk ke rumahnya. Tadinya aku mau di rumah saja, tapi Ibuk keukeuh untuk membawaku ke rumah beliau.

"Nanti kalau sudah anak kedua, ketiga terserah kalian mau tinggal dimana. Ibuk gak akan ikut campur."

Aku tidak kaget sih dengan antusias Ibuk karena Nabeela merupakan cucu pertama beliau, jadi euforia nenek baru begitu bergelora di tubuh beliau.

Suri Hati Mas EmirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang