20 : Sakit

4.4K 339 5
                                    

"Bunda, Zaki ambil crayon aku!" pekik Mina. Aku yang sedang mengawasi Lulu menggambar seketika menoleh kearah sumber suara, terlihat Mina sudah menangis dengan tangan  memegang crayon. Qia— rekan seprofesiku terlihat menenangkan Mina yang sedang menangis.

Kejadian seperti ini sudah biasa terjadi, kadang sampai bertengkar hanya karena tempat duduk.

"Semuanya lihat Bunda Qia ya!" ucapku meminta anak-anak memperhatikan Qia yang akan menjelaskan tentang warna dan buah.

"Bunda, Cici mau pipis," ucap Cici saat Qia menerangkan nama buah, aku lantas mendekati, "Ayo sama Bunda Nana," ajakku keluar kelas.

Kegiatan belajar mengajar sudah selesai setengah jam yang lalu, aku sedang menunggu Go-Car pesananku datang. Sekarang hanya tinggal kami berdua, aku dan kak Tria. Kak Tria seperti biasa, menunggu jemputan suaminya. Begitu suami Kak Tria datang, Go-Car pesananku juga sampai.

Siang ini aku mau masak soto Medan resep dari Ibuk. Setelah melihat  beberapa minggu lalu Mas Emir lahap makan soto Medan, aku memutuskan untuk mencoba buat.

"Bihun nya digoreng enak, Na. Jadi pas disiram kuah soto, nanti akan bunyi krenyes," ucap Ibuk dari seberang sana.

"Cuma digoreng biasakan, Buk?" sahutku dari sini.

"Iya, setelah dicuci habis itu digoreng."

Aku mengambil bihun yang sudah aku rendam dari tadi, memanaskan minyak dan mencoba menggoreng sedikit.

"Enak Buk," ucapku setelah mencoba bihun goreng yang disiramkan dengan kuah soto panas.

"Enak kan!" balas Ibuk dari sana. Aku hanya mengangguk dan tersenyum walaupun tidak dilihat Ibuk.

Panggilan suara bersama Ibuk sudah selesai, membersihkan bekas kekacauan yang aku buat tadi. Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua siang dan Mas Emir katanya sudah di jalan pulang. Mencium apakah aku bau bawang atau tidak, dan ternyata, iya, aku bau bawang. Setelah beres aku segera mandi agar Mas Emir pulang aku sudah cantik dan wangi.

Aku keluar kamar mandi dan terkejut melihat Mas Emir sudah berbaring di kasur dengan Mochi yang berada diatas kepalanya.

Masih dengan handuk melingkar, aku mendekat, "Mas," panggilku berusaha membangunkan Mas Emir. Ternyata dia tidak tertidur hanya memejamkan mata saja. "Bangun Mas, makan dulu, Nana tadi masak soto Medan dan perkedel."

Setelah mengatakan itu, akua berniat ingin ke lemari mengambil baju, tapi aku kalah cepat. Mas Emir menarik ujung handuk ku sehingga aku oleng dan terjatuh tepat di atas badannya.

Mas Emir memeluk pinggangku, merapikan rambut yang menutupi wajah. Dia tersenyum yang aku paham maksudnya, "Makan kamu dulu boleh gak?"

Nah kan, baru juga aku bilang. Suara Mas Emir serak dan berat. Tanpa menunggu persetujuanku, Mas Emir sudah membalik posisi kami dengan aku berada dibawahnya.

"M-mass!" ucapku berusaha menyadarkan Mas Emir. "Makan dulu, ya," pintaku berusaha tidak tergoda. Mas Emir awalnya hanya mengecup tapi berubah menjadi ciuman yang dalam. Aku tidak tahu kapan tepatnya, handukku sudah terbuka dan, ya, kami melakukan pertualangan di siang bolong begini.

Kami makan siang ralat makan sore setelah sholat Ashar. Tadi saat kami berpetualang, Mochi yang awalnya berada di atas kepala Mas Emir sempat bersuara karena kami tak sengaja menyenggol tubuhnya yang hampir terjatuh. Kami sempat berhenti dan tertawa melihat ulah kami, tapi yang namanya Mas Emir, setelah memindahkan Mochi di bawah, dia melanjutkan lagi petualangan kami.

"Enak Na!" puji Mas Emir seperti biasa. Aku hanya tersenyum bangga, masakan dipuji sama suami itu another level deh.

"Nanti Nana mau kasih ke Ibuk juga, ya, Mas."

Suri Hati Mas EmirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang