22 : Yah... Mimpi

4.1K 332 5
                                    

Keadaan Mas Emir sudah mulai membaik, panasnya sudah turun. Ketika bangun tidur, aku tidak menemukan Mas Emir di ranjang, mencari keluar ternyata sedang lesehan di depan teve dengan Mochi di pangkuan.

“Mas...”

“Hm... sudah bangun, Na?”

Aku mendekat dan gantian merebahkan kepala di pangkuan Mas Emir. Mochi tidak terganggu sama sekali.

“Mas sudah lama bangun?”

“Belum, tadi Mas kebangunan soalnya.”

“Kebangun kenapa?”

Aku ikut membelai Mochi yang nampak mulai mengantuk.

“Mas mimpi kita pergi liburan ke penginapan Zami.”

“Kok bisa kesitu mimpinya?”

“Nggak tahu.”

“Pasti mimpinya aneh-aneh ya?” aku sudah paham dengan Mas Emir. Dia tidak akan kebangun jika tidak memimpikan sesuatu yang aneh.

“Tuh kan, celananya ganti!” Aku sadar dengan perubahan Mas Emir, tadi pagi dia memakai celana training, sekarang malah sudah memakai celana batik.

“Ya, gimana gak ganti, orang mimpi kamu hot banget!”

“Ih! Apaan sih! Mesumnya kebawa mimpi.”

“Mesum sama istri sendiri gak dilarang, Na. Atau kamu mau Mas mesum sama orang lain? Mau kamu?”

“Nggak! Awas aja!”

“Nah itu tahu, lagian Mas juga nggak mau, punya kamu yang aduhai begini gak akan habis.”

“Bahasanya, aduhai segala!” aku bergidik geli mendengar perkataan Mas Emir. Dapat dari mana pula dia kata begitu.

“Tapi serius, Na. Di mimpi Mas tadi, kamu hot sekali!” Mas Emir mengacungkan dua jempol.

Hot nya level berapa?” tanyaku iseng. Iya kali aku disamain sama level cabe.

Another level deh. Di mimpi, kamu itu...” Mas Emir menunduk mengarahkan bibirnya di telingaku, “ganas dan minta nambah terus.”

Aku langsung mencubit perut Mas Emir yang berada di dekatku, terserah kalau Mas Emir kesakitan.

“Aduh! Kok dicubit? Salahnya dimana coba.”

“Pikiran mesum Mas Emir yang salah, masa mimpi begituan.”

“Kan mimpi gak bisa kita pilih, Na.”

“Iya gak bisa, tapi kalau mikir itu terus secara gak sadar masuk ke alam bawah sadar kita, makanya kebawa sampai ke mimpi.”

“Nggak apa-apa lah, orang mimpiin istri sendiri,” ucap Mas Emir bangga.

Kalau tidak ingat dia suami dan sedang sakit, sudah pasti akan aku cubit seluruh tubuhnya. Ngeselin!

“Udah, Nana mau masak makan siang. Mas mau makan apa?” tanyaku berusaha bangkit. Mas Emir menahan pergerakan ku, menyuruh tetap di pangkuan nya.

“Kita pesan saja, lagian bubur tadi pagi masih ada kan? Mas makan itu saja.”

“Masih, nanti beli ayam goreng saja ya Mas, biar ada lauknya.”

“Iya.”

“Seenak itu bubur Nana?” tanyaku penasaran. Mas Emir nampak berpikir, “lumayan, karena sakit begini, semua makanan gak ada rasa, jadi bubur alternatif terbaik.”

Menyesal aku bertanya jika jawabannya begini. Tadi pagi saja bilang enak, sekarang malah bilang lumayan.

“Enak kok, apalagi kalau disuap.”

Suri Hati Mas EmirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang