37 : Hadiah Terindah

8.5K 563 20
                                    

Selepas kepergian Mas Emir ke masjid untuk shalat subuh, aku bergegas membuka laci kecil di samping nakas tempat aku menyimpan testpack. Subuh ini aku berencana untuk melakukan tes kehamilan setelah empat atau tiga bulan lalu tidak aku lakukan. Alasannya sama, aku takut kecewa melihat hasilnya.

Setelah melihat perubahan mood dan keterlambatan tamu bulanan untuk bulan ini, maka aku memberanikan diri untuk melakukan tes. Hasilnya apa, kita serahkan saja.

Aku tidak terlalu antusias seperti bulan-bulan lalu, bukan karena aku belum siap, tapi aku hanya tidak ingin sedih nantinya.

Setelah mencelupkan testpack sebentar, aku meletakkan di wadah datar dan membiarkannya di sana. Aku harus sholat terlebih dahulu keburu waktu subuh habis.

Setelah berdoa dan masih memakai mukena, aku memberanikan diri untuk melihat hasil testpack yang aku tinggalkan tadi. Dengan dada berdebar dan tangan gemetaran, aku melirik sekilas kearah testpack yang sengaja aku balikkan posisinya. Dan dengan tangan gemetar tremor, aku melihat dua garis merah pada testpack yang aku pakai. Aku menangis dan tak lupa mengucapkan kata syukur atas kehamilan ini. Masih dengan tangan gemetaran, aku terduduk bersimpuh di bawah wastafel. Aku hamil, sebentar lagi aku akan menjadi ibu, ada anak Mas Emir dalam perutku.

Aku mengelus sayang perutku yat masih rata. "Assalamu'alaikum, Sayang. Terima kasih sudah hadir."

Aku menangis sejadi-jadinya hingga aku lupa dengan Mas Emir. Aku bangkit dan membersihkan peralatan yang tadi aku pakai, tak lupa membasuh muka agar wajah sembab khas menangis tidak terlihat. Aku ingin memberi kejutan kepada Mas Emir ketika ia pulang nanti. Dibandingkan aku, Mas Emir yang lebih menantikan anak ini, tapi dia selalu bersikap biasa saja dan mencoba bersabar dengan selalu berdoa dan berusaha.

Setelah semuanya selesai, aku berbaring di ranjang seolah-olah aku sakit. Testpack sudah aku masukkan ke dalam kotak obat yang dibungkus kotak kecil.

Aku memejamkan mata ketika gagang pintu di buka, mencoba untuk tidak berhambur kepelukan Mas Emir dan menangis.

"Na, kok tidur? Sudah sholat?"

Aku tidak menjawab, tetap pura-pura tertidur.

Mas Emir mendekat di samping ranjang yang aku tenpati. "Na, sudah sholat? Kalau belum, sholat dulu baru lanjut tidur."

"Loh, kenapa matanya sembab begini, kamu nangis?"

Aku mengelap sudut air mata yang keluar, "Na-na pusing, Mas." Aku kesusahan untuk berbicara karena aku benar-benar ingin menangis. Aku bahagia dan tidak sabar untuk memberi kabar bahagia ini kepada Mas Emir.

Tadinya aku akan berakting seperti pasangan yang aku liat di HP, pura-pura sakit dan manja sehingga Mas Emir akan mengambil kotak obat. Tapi nyatanya, jangankan bermanja, berbicara saja aku tidak sanggup dan malah menangis haru.

"Pusing sekali kepala nya sampai-sampai nangis begini?"

Aku mengangguk dan menggigit bibir bawahku. Berusaha menahan gejolak tangis yang datang.

"Ya sudah, kamu istirahat. Oiya, sudah sholat kan?"

Sekali lagi aku mengangguk dan di balas kecupan singkat di kening. Mas Emir tersenyum dan memintaku untuk kembali berbaring dan beristirahat. Sementara dia, mengganti baju dan keluar kamar untuk membuatkanku teh manis.

Bibirku kelu hanya untuk mencegah Mas Emir pergi. Setiap aku ingin bersuara, keinginan untuk menangis itu semakin besar.

Aku keluar dari kamar dan menyusul Mas Emir ke dapur. Dengan langkah pelan dan sesekali mengusap perut rataku.

Suri Hati Mas EmirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang