06 : Resepsi

6.9K 573 20
                                    

Kami sepakat mengadakan acara yang sederhana, yang penting sakral. Setelah sholat shubuh, aku belum melihat Emir. Para laki-laki sudah pulang dari masjid, hanya Emir dan Bang Rifki yang belum terlihat.

Di rumah sekarang memang ramai, berbeda dengan hari akad kemarin. Para tetangga dan saudara memang terlihat sibuk membantu di rumah. Bunda dari tadi sudah hilir mudik begitupun kakak-kakakku. Aku ingin membantu, tetapi di tolak. Malah disuruh duduk anggun di kamar menunggu MUA datang. Ya, untuk resepsi aku akhirnya memakai jasa MUA juga.

“Cu Na, dendong,” rengek Rumaisya sambil memegang boneka keroppi dan merentangkan tangan kearahku.

“Kok Dek Sya sudah bangun, masih subuh ini sayang,” tanyaku heran. Biasanya pincess Abang ini akan bangun paling cepat jam tujuh. Apa karena suara ribut-ribut kali, ya, sampai dia kebangun.

“Uma, Abi,” ucapnya sambil merebahkan kepala di ceruk leherku yang tertutup khimar.

Ooh ternyata kehilangan Umma dan Abinya. Kak Hikma sendiri tadi kulihat sedang di dapur entah mengerjakan apa. Sedangkan Abang dari tadi aku juga mencarinya.

“Ke kamar Mak Ucu yuk, kita bobok lagi. Umma sama Abi lagi ada kerjaan,” melihatnya masih mengantuk aku berinisiatif membawa Rumaisya ke kamar untuk tidur lagi.

Aku mengambil boneka keroppi yang lain dari dalam lemari. Semenjak kamar dihias, Bunda melarangku meletakkan boneka di atas kasur dengan alasan 'kamu sudah tidak butuh boneka lagi Na.'  Aku yang menurut saja, memasukkan keroppi-keroppiku ke dalam lemari, sebagian aku ungsikan ke kamar Bunda.

Rumaisya sudah tertidur kembali dengan memeluk boneka keroppi, suara knop pintu terdengar. Kupikir MUA yang datang, tetapi Emir yang muncul. Emir sudah tidak memakai sarung-outfit pergi ke masjid, tetapi sudah berganti dengan celana kain hitam. Sedangkan sarung hanya ditenteng. Lah, kapan dia ganti celana.

“Rumaisya dicari sama Rifki dan Hikma, ternyata disini,” ucapnya ketika melihat Rumaisya tertidur di kasur.

“Iya, tadi dia nyariin orang tuanya juga. Daripada menangis, Nana bawa saja ke kamar,” aku ingin beranjak keluar memberi tahu keberadaan Rumaisya, Emir malah bertanya aku mau kemana.

“Mau bilangin ke Abang dan Kak Hikma kalau Rumaisya disini.”

“Ngga usah, Rifki sudah tahu.”

“Lah, kapan tahunya? Tanyaku heran. Jawabanku hanya di balas dengan uluran HP.

Oh Nana, sekarang kenapa kamu lemot dan bodoh begini. Rutukku dalam hati.

“MUA nya jam berapa datang?” tanyanya ketika melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul enam lewat.

“Janjinya jam enam, palingan sebentar lagi.”

“Nanti kamu jangan pakai bulu mata palsu, alisnya jangan dicukur sama jangan terlalu berlebihan ya, Na. Saya tidak suka dan tidak ridho,” ucapnya memberi perintah.

Tanpa dia minta pun, aku juga tidak akan melakukan semua itu. Aku tidak sealim orang-orang, tetapi satu dua aku sedikit paham dengan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh kulakukan. Aku tidak marah atau tersinggung ketika Emir mengatakan ini, malah aku suka karena dia masih punya sifat cemburu dan tidak menjadi suami dayyuts.

“Iya Bang,” jawabku sambil tersenyum.

oOo

Jam sepuluh aku sudah siap memakai baju kebaya labuh, tidak banyak aksesoris yang aku pakai hanya sunting, dan sebai bewarna kuning di sebelah kiri. Emir pun memakai pakaian yang senada denganku. Baju cekak musang dengan tanjak dan songket, tak lupa juga sebai kuning di sebelah kiri.

Suri Hati Mas EmirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang