Tak terasa kehamilanku sekarang sudah memasuki bulan ke-enam. Kalau orang lain mungkin memang melihatnya sebentar sudah besar saja perutku tapi bagi aku yang merasakan mual muntah parah di dua bulan pertama tentu terasa sekali menuju bulan ke-enam ini. Selama mengalami mabuk parah, Mas Emir dengan sabar melayani semua inginku —bukan, ini semua keinginan anaknya.
"Mas, jangan lupa lo donat nya." Aku mewanti-wanti Mas Emir sebelum berangkat ke kantor.
"Iya sayang, nanti spam chat saja biar mas gak lupa."
Aku mencebik mendengar jawaban Mas Emir. Makin kesini Mas Emir semakin menyebalkan. Bicara donat, sebulan belakangan ini ada toko donat yang baru buka dan selama satu bulan itu juga aku sering membelinya. Sampai-sampai karyawan toko tersebut sudah hapal dengan Mas Emir.
"Kamu beneran mau di rumah aja?"
"Iya."
"Mau Mas antar ke rumah Ibuk atau ke rumah Bunda aja?" tawar Mas Emir.
"Nana lagi gak mau kemana-mana, Mas."
"Terus, mau di rumah aja?"
Aku mengangguk mantap. Bertambah besarnya usia kehamilanku, aku menjadi malas keluar rumah. Padahal di usia kehamilan yang sudah hampir matang ini, aku disuruh banyak gerak biar mempermudah proses lahiran nanti. Tapi memang dasarnya aku malas atau mungkin bawaan bayi, makanya aku lebih suka berleha-leha di rumah.
Berbeda pada awal-awal kehamilan. Walaupun mabuk parah, aku malah ingin sering keluar rumah, minimal ke rumah Bunda atau Ibuk. Sampai-sampai aku harus sering diomelin sama Bunda karena katanya aku nyusahin orang terutama Mas Emir.
"Badan seperti ini itu harusnya di rumah, istirahat bukan kelayapan, Na! Gak kasihan kamu sama suamimu?"
"Kan bukan kemauan Nana, Bun. Kalau bisa, Nana juga gak mau kayak gini." Masih dengan tangis yang sudah mulai berhenti, Bunda malah berbicara lagi.
"Badan Nana sakit, perut Nana juga mual terus, tapi Nana gak mau di rumah."
"Cengeng!" sungut Bunda melihatku kembali menangis. " Kalau kayak gini, gimana coba kalau Bunda gaada, Na."
"Makanya Bunda jangan marahin Nana terus, nanti Nana nangis lagi. Lagian Bunda gak kemana-mana, Bunda disini terus sama Nana."
"Ingat kamu sudah punya suami, sebentar lagi punya anak. Kurang-kurangi sifat manja kamu ini."
" Serius ini mau di rumah aja?" ulang Mas Emir sekali lagi.
Nah satu lagi yang berubah selama aku hamil. Mas Emir tiba-tiba berubah jadi cerewet. Bukannya aku gak senang Mas Emir perhatian begitu apalagi kami pernah kehilangan anak pertama kami dulu tapi tidak se-protektif ini juga. Mas Emir paling tidak suka kalau aku sendirian di rumah, makanya dia berusaha membuat aku berubah pikiran.
"Udah, Mas berangkat aja sana, sudah jam berapa ini."
"Mas minta tolong sama Ibuk aja ya, buat nemanin kamu disini," negoisasi Mas Emir. Aku yang sudah jengah memicing kan kedua mata kearah Mas Emir. "Jangan ngerepotin orang, Mas. Apalagi nyuruh Ibuk kesini. Nana gak mau, ya!"
"Ibuk gak ngerasa direpotkan, Sayang. Malah Ibuk suka nemanin kamu. Mas telpon sebentar...."
"Mas, Nana beneran ngambek lo nanti kalau Mas sampai telpon Ibuk. Nana gak apa-apa di rumah sendiri, lagian sudah biasa juga."
"Biasanya kan Mas pulang siang, tapi nanti Mas agak telat pulangnya."
"Terserah, Mas aja." Aku berlalu masuk ke rumah. Menghiraukan Mas Emir yang kulihat memasukkan kembali ponselnya.
"Ya sudah, kamu hati-hati di rumah ...."
"Kalau ada apa-apa kabari, Mas. Kalau mau ke kamar mandi harus hati-hati, jangan telat makan, jangan banyak gerak, rumah biarin aja berantakan, kamu gak boleh kecapean," aku memotong ucapan Mas Emir karena aku sudah hapal luar kepala apa yang akan dia ucapkan ketika hendak berpergian.
Mas Emir menyengir dan mengecup pipi tembamku, "pintarnya," ucapnya penuh bangga. "Ya sudah, Mas berangkat ya. Ingat kalau ada apa-apa cepat kabari, Mas. Kalau Mas gak ada respon, kabari Ibuk atau orang rumah Bunda."
Aku mengangguk mantap, membelai halus pipi Mas Emir. Duh. Kenapa Mas Emir terlihat errr —hot—disaat begini.
Selepas kepergian Mas Emir, aku memutuskan untuk melanjutkan melukis yang dua bulan terakhir menjadi kegiatanku selama di rumah. Kalau dulu aku akan bereksperimen di masakan, sekarang aku malah suka melukis. Pokoknya dua bulan sekali, hobiku berubah-ubah.
Semua ini berawal ketika aku sering mendengar omongan Bunda yang menyuruhku untuk tidak menyusahkan siapapun termasuk beliau. Awalnya aku ngerasa kalau Bunda sudah tidak sayang lagi kepadaku maupun ke calon anak kami, tapi makin kesini aku jadi sadar kalau ternyata ini semua demi kebaikanku juga. Tidak selamanya aku akan bergantung sama orang, selagi masih bisa dikerjakan sendiri kenapa tidak.
Aku sudah pernah bilang belum, kalau bunda berubah banyak selama masa kehamilanku. Beliau berubah lebih banyak diam, sekali bicara bisa nyakitin hati. Ini bukan sama aku saja, sama Kak Hikma dan Bang Rifki juga gitu. Aku yang dasarnya sudah sensitif bawaan bayi tentu tidak bisa menerima perubahan sikap bunda dan sering menangis kalau mengingat perubahan beliau, tapi Mas Emir dan Bang Rifki sering nasehatin aku kalau gak usah diambil hati. Namanya orang hamil ya, sudah tentu tidak mempan.
Lambat laun aku sudah bisa menerima semua perubahan Bunda, ya walaupun begitu aku tidak menutupi kalau aku rindu bunda yang dulu. Sempat juga aku mikir kalau bunda tidak senang aku hamil, karena beliau sudah punya banyak cucu dari kakak dan abangku, tapi sekali lagi Mas Emir memberiku pengertian yang alhamdulillah bisa menenangkanku.
Saking fokusnya aku melukis, sampai-sampai aku tidak sadar ada lima panggilan tak terjawab dari Kak Hikma, tujuh dari Mas Emir dan beberapa pesan masuk. Melihat notifikasi bejibun, aku mulai tidak enak hati, entah firasatku yang salah atau apa, seketika aku merasa sesuatu ada yang terjadi.
Belum sempat membuka aplikasi Whatsapp, panggilan Mas masuk dari Mas Emir kembali muncul. Dengan hati yang bercampur aduk aku mengangkat telepon Mas Emir dan terdengar suara serak Mas Emir.
"Sayang, dimana!"
"Assalamualaikum..." ucap kami bersamaan.
Terdengar nada risau dari suara Mas Emir yang entah kenapa semakin membuatku gundah.
"Nana di rumah, Mas. Maaf baru lihat HP, tadi Nana melukis, HP nya di charg."
"Sayang..." terdengar nada putus asa dari suara Mas Emir. "Sekarang siap-siap ya, kita ke rumah sakit, nanti Mas kasih tahu detailnya. Sekarang kamu siap- siap saja dulu, jangan grasak - grusuk, hati-hati kamu sedang hamil."
"Siapa yang masuk rumah sakit, Mas?" jawabku tak sabar.
"Pokoknya kamu siap-siap, Mas sudah masuk area perumahan."
Tanpa bisa dicegah, air mataku menetes tanpa komando, padahal aku belum tahu kenapa kami harus ke rumah sakit. Tapi jauh dalam lubuk hatiku, aku takut terlebih ada panggilan tak terjawab dari Kak Hikma yang aku abaikan tadi. Semoga... semoga ini semua hanya firasat ku saja. Semoga ya Allah.
oOo
Haiii 🙌
Aku mohon maaf ya kalau baru muncul kembali. Terlalu banyak peristiwa di dunia nyata yang menyeret perhatian.
Semoga masih ada yang nyimpan SHME dan menunggu Nana - Emir update. Untuk kedepannya in syaa Allah aku bakalan aktif kembali di dunia Oranye.
Cek ombak dulu yaa 🌊
KAMU SEDANG MEMBACA
Suri Hati Mas Emir
RomanceReana pikir menikah karena di jodohkan itu hanya ada di cerita Wattpad yang sering dia baca, nyatanya di usia 27 tahun Reana harus menerima kenyataan bahwa apa yang biasa dia baca terjadi di kehidupan nyata. Menikah karena di jodohkan dengan laki-la...