36 : Baikan lagi, nih?

4.7K 445 3
                                    

Aku memperhatikan wajah lelap Mas Emir. Tampan dan menawan. Setelah berbaikan tadi malam, kami saling berpelukan dan akhirnya tertidur setelah lelah menangis. Mas Emir tidak bergerak sedikitpun ketika tanganku usil mengelus bulu-bulu halus di sekitar dagu.

“Na ...”

“Iya Mas.”

“Jam berapa?”

“Jam setengah empat. Kenapa, mau mandi?”

Mas Emir semakin mengeratkan tubuhnya kearahku. “Mas rindu ...”

Aku terkekeh, mengusap sayang rambutnya. Aku paham maksud rindu yang Mas Emir katakan ini. “Siapa suruh diam-diam sok menjauh, mana pakai acara tidur di ruang kerja lagi."

"Kan Mas lagi insecure, Na."

"Kenal insecure juga ya, Mas."

Alih-alih menjawab, Mas Emir malah beralih menindih tubuhku. “Mau, ga?"

"Mau apa?" tanyaku pura-pura polos.

"Mas rindu, Na.”

Aku mengalungkan kedua tangan di leher Mas Emir. " Tapi pelan-pelan ya, Mas."

"Perutnya sakit?" tanya Mas Emir langsung mengelus perutku.

Aku tidak merasa kesakitan cuma aku hanya berjaga-jaga. Mana tahu aku benaran hamil dan aku tidak mau membahayakan janin yang ada dalam kandunganku.

"Enggak, Nana ....”

"Ya sudah kalau begitu, besok-besok saja.” potong Mas Emir langsung berbaring di sampingku.

"Loh, kok enggak jadi? Mas marah?"

"Ngga, Na. Mas tidak marah. Lagian bentar lagi adzan."

Adzan masih lama, kami masih bisa bermain satu kali menjelang adzan subuh. "Ayo ... Nana mau, kok. Tapi pelan-pelan."

Mas Emir menyentil dahiku pelan. "Mesum!"

Loh ... loh. Kenapa aku di bilang mesum. Padahal yang mau dan ngajak duluan dia.

"Benaran enggak jadi, nih?" tanyaku memastikan.

"Ngga, mau pelukan aja," ujar Mas Emir sambil memelukku dan mengelus perutku lembut.

"Perasaan Mas atau karena beberapa hari ini jarang perhatiin kamu ... kamu timbangannya naik, Na?”

"Mas Emir bilang Nana gendut?"

"Enggak. Lebih berisi dikit dari biasanya."

"Gak ada, bilang aja kalau Nana gendut!"

Aku berbalik memunggungi Mas Emir. Dapat kudengar tawa Mas Emir di belakang sana.

"Jangan ketawa, gaada yang lucu."

"Iya-iya, ini udah berhenti ketawa."

Kami terdiam beberapa saat, mataku tidak bisa lagi terpejam sedangkan Mas Emir entah sudah tertidur atau sama denganku.

"Mas."

"Mas ..."

"Hmm ..."

"Nana enggak bisa tidur lagi."

"Mau makan apa?"

Aku segera membalikkan badan menghadap Mas Emir. Kenapa dia tahu kalau aku sedang lapar. "K-kok Mas tahu? Padahal perut Nana enggak bunyi."

"Walaupun belakangan ini kita diam-diaman, Mas tetap pantau gerak gerik kamu, Na.”

Aku mengecup sekilas bibir Mas Emir. Mencubit gemas pipinya yang tidak tembam. "Nana mau nasi goreng buatan Mas Emir. Udah dari kapan Nana mau itu, tapi kita malah diam-diaman."

Suri Hati Mas EmirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang