31 : Gegenya Nana

3K 304 39
                                    

Part ini full flashback ya.

___________________________________________

“Ge, besok jangan lupa bawain buku paket bahasa Inggris.”

“Kalian ada tugas?”

“Ada, makanya aku mau liat tugas kamu. Kalian 'kan sudah selesai bahas buku paket.”

Walau satu sekolah dan satu angkatan, Aku dan Gery berbeda sistem belajarnya. Gege si anak pintar yang masuk kelas unggulan, sedangkan aku anak setengah pintar hanya bisa masuk di kelas biasa.

“Ingatkan nanti.”

“Siip.”

“Ge. Kamu mau kuliah dimana?”

“Dimana saja, yang penting masuk teknik.”

“Apa sih kerennya teknik, gondrong-gondrong gitu 'kan rambutnya?” tanyaku heran. Pasalnya, Bang Rifki juga anak teknik dan aku perhatikan, teman-temannya banyak yang berambut gondrong. Malahan Bang Rifki sudah mulai ikut-ikutan.

“Nggak semua anak teknik rambut gondrong, Na. Teknik itu keren tahu, macho.”

“Anak hukum lebih keren, apalagi kalau sudah di meja sidang. Keren!” ucapku dengan antusias.

“Kamu suka sama cowok yang kuliah hukum?”

“Iya, keren.”

“Tapi aku nya mau masuk teknik, Na.”

“Ya kamu masuk saja, nggak ada yang larang.”

“Nanti aku nggak keren kamu bilang?”

Aku menatap Gery—laki-laki berkacamata yang sudah menjadi pacarku selama dua tahun belakangan.

“Kamu jadi apapun tetap keren, Ge. Pacar Nana gitu loh.”

Gery mengacak kepalaku yang tertutup jilbab putih. Saat ini kami sedang berada di rumah baca, menemani Gery mengembalikan buku yang minggu lalu ia pinjam.

“Habis ini mau makan apa, Na?”

“Terserah.”

“Na, aku nggak menerima kata terserah.”

Aku tertawa, Gery memang anti jika aku mengucapkan kata terserah.

“Aku mau rujak buah, Ge.”

“Nggak ada, kemarin juga makan itu. Nanti kamu cuma milih mangga terus ngeluh perutnya sakit, nggak ada.”

“Janji nanti nggak pakai mangga,” aku menggoyangkan kedua lengan Gery yang tertutup jaket.

“Nggak, Nana. Makan yang lain saja.”

“Ya sudah, terserah kamu.”

“Ngambek lagi.”

“Biarin.”

“Janji nggak ambil mangga nanti, ya?”

Aku mengangguk cepat, memberikan senyuman manis dan lebar kepada Gery, “janji.”

Kami keluar dari rumah baca, menuju tempat rujak buah langganan kami menggunakan motor Gery.

“Sayang Gege!” ucapku berbisik.

“Apa?!” pekik Gery.

“Nggak ada, aku nggak ngomong apa-apa.”

***

“Ge, aku sebel! Masa Bunda masak ayam sambal hijau kesukaan kamu.”

Gery tertawa dari seberang sana, sedangkan aku mengerucutkan bibir.

Suri Hati Mas EmirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang