07 : Mas Emir

8.8K 638 29
                                    

Warning !! Akan ada adegan dewasa!! tapi masih batas aman.

*****

Tak terasa memang, sekarang pernikahan kami sudah memasuki minggu kedua. Masih muda memang dan masih tergolong pengantin baru. Seminggu setelah pernikahan, kami memutuskan untuk pindah rumah, mengontrak lebih tepatnya. Emir bilang, rumah kami sedang dibangun, tinggal sedikit finishing lagi. Kami memang terkesan cepat untuk pindah, tapi ini demi kebaikan kami bersama.

Di awal Emir mengusulkan pindah rumah, aku pikir dia akan membawaku ke rumah Ibuk. Tetapi dia malah mengusulkan untuk mengontrak sementara waktu menjelang rumah kami siap.

"Kalau kita pindah kerumah Ibuk, ya sama saja Na. Di rumah Ibuk ada Ghani yang notabene adik Ipar dan bukan mahram kamu. Di rumah Bunda ada Hikma yang bukan mahram saya. Kedua-dua nya tidak ada solusi untuk kita," terangnya waktu aku menanyakan alasan kenapa kami harus pindah secepat ini.

Aku tahu serumah dengan Ipar memang dihindarkan, tapi setidaknya bukan seminggu setelah menikahkan. Aku masih belum rela meninggalkan rumah yang banyak kenangannya. Anggap saja aku berlebihan, tetapi begitu lah ada nya.

"Kita pindah rumah masih sekitaran sini Na, bukan pindah keluar negri. Kita masih bisa berkunjung di akhir pekan, atau kapan pun kamu mau."

"Ya tapi Nana masih sedih ninggalin Bunda dan Rumaisya."

Emir hanya diam melihatku yang mulai berkaca-kaca. Dia berdiri dan mengacak suraiku pelan.

Berita kepindahan kami awalnya ditentang oleh Abang, karena dia merasa yang seharusnya pindah itu mereka bukan kami. Karna aku sebagai anak bungsu, sudah seharusnya aku yang tinggal di rumah ini bersama Bunda. Aku menjelaskan kepada Abang kalau aku sudah jadi istri, jadi aku juga harus patuh dan tunduk kepada suami.

"Nana sudah jadi istri orang Bang. Kalau kak Hikma bisa ngikutin Abang buat tinggal sama kita- sama mertua, kenapa Nana tidak. Lagian kami pindah nya juga dekat sini, jadi masih bisa berkunjung kalau Nana rindu. Rumah ini juga sudah jadi milik Abang, ingat siapa yang renovasi sampai jadi seperti sekarang."

"Itu sudah kewajiban Abang sebagai anak Na. Kalian disini saja, Abang pun sudah berencana mau ambil perumahan setelah kalian nikah."

"Ngapain ngambil rumah. Mending uangnya ditabung buat biaya sekolah Syafiq dan Rumaisya. Nana tahu Abang punya banyak uang, tapi jangan dihamburin ke hal yang gak perlu. Sekarang Abang harus percaya sama Bang Emir, yang nyuruh Nana nerima Bang Emir siapa coba," jawabku sedikit menggodanya.

"Ya Abang. Tapi nggak pakai pindah begini juga. Si Emir juga ngapain ngajak kamu pindah."

"Lah, kan Nana istri nya. Nanti kalau Bang Emir pindah tanpa Nana, Abang juga yang marah. Abang percaya dan terima saja. Ini rumah kita bersama, gak ada cerita rumah ini milik Nana, hanya karena Nana anak bungsu," ucapku sambil memeluk Bang Rifki.

Bang Rifki akhirnya setuju kami pindah, Bunda malah tidak bereaksi apa-apa. Bunda hanya berpesan agar kami sering berkunjung. Dan juga memberi beberapa petuah rumah tangga kepadaku.


oOo

Rumah kontrakan kami hanya ada dua kamar, tidak terlalu besar untuk ditinggali dua orang. Di rumah ini peralatan sudah lengkap, kami hanya perlu membawa baju dan badan. Aku baru tahu kalau ada rumah kontrakan yang sudah lengkap begini.

"Kamar kita yang ada kamar mandi di dalam Na. Rumah sudah bersih dan siap untuk di huni. Nanti kamu hanya perlu beresin barang bawaan kita saja," begitu kira-kira perkataan Emir di sepanjang jalan menuju rumah.

Suri Hati Mas EmirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang