62. Rudira

44 13 0
                                    

Seluruh barang bukti akhirnya diserahkan kepada kepolisian.

"Maaf, ya, gua baru bisa tepati janji sekarang. Padahal dari kemarin-"

"Raki. Lo tuh kaya yang ke siapa aja. Tenanglah."

"Bukan masalah tenangnya, tapi gua udah janji sama lo, Dhifa."

"Udah lupain, sekarang kita pesan es krim!"

Dhifa tersenyum. Raki berhasil menepati janjinya kepada Dhifa.

Sedangkan yang dirumah, Shanum tak lepas dari pelukan ke dua orangtuanya.

"Umi, Adek gapapa. Alhamdulillah, Allah menyelamatkan Adek, Umi." Shanum berusaha membuat mu tenang.

"Yn Sayang. Udah nangisnya!" titah Felix.

"Aku gak mau kehilangan lagi! Udah cukup. Ya Allah, janganlah Engkau mengambil keluarga hamba lagi ...."

Harlan masuk ke kamar. Pikirannya kembali memutar memori yang sudah lama jauh di buang. Apa lagi kalau bukan tentang kematian Annisa.

Tepat di depan matanya sendiri Annisa menyelamatkan nyawanya.

"Nisa ...."

"Makasih. Makasih banget!"

Tak di sengaja Raki memegang tangan Dhifa. Buru-buru Dhifa menarik tangannya.

"Sorry ...."

Tiba-tiba menjadi hening sesaat.

"Raki. Gua ada pertanyaan buat lo."

"Apa?"

"Gua kayanya suka deh sama seseorang. Tapi gua gak mungkin mendekati dia, gua gak mau terlibat ke dalam perzinaan. Menurut lo, gua harus gimana? Tapi, gua gak yakin sama perasaan sendiri. Lo tahu sendiri lah gimana gua, agama gua masih kurang apalagi adab gua."

"Lo tau Al-Quran surat Yasin ayat 82, enggak?"

Dhifa menggelengkan kepalanya. Kemudian Raki membacakan arti QS. Yasin ayat 82.

"Sesungguhnya urusan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu Dia hanya berkata kepadanya, "Jadilah!" Maka jadilah sesuatu itu." ( QS. Yasin ayat 82 )

"Dhifa. Gak ada sesuatu yang mustahil di dunia ini bagi Allah SWT. Kalau lo beneran suka sama dia, caranya cuma satu. Meskipun lo punya harta banyak lo gak bakalan bisa beli hatinya. Pemilik hatinya Allah, jadi minta sama pemilik hatinya. Luluhkan dia lewat doa."

Tiba-tiba ada panggilan masuk ke handphone Raki.

"Sorry bentar," ucap Raki ke Dhifa.

Raki mengangkat panggilan telepon.

"Iya Abi, Raki pulang sekarang urusannya udah beres kok."

Setelah mematikan sambungan telepon, Raki pamit pulang kepada Dhifa.

"Assalamualaikum, Umi."

"Sini Sayang!"

Raki menghampiri mu. Setelah Raki mencium punggung tangan mu, kamu segera memeluknya.

"Kamu kemana aja? Bilangnya cuma sebentar, 'kan."

"Maaf, Umi. Tadi Raki kelupaan karena asik ngobrol."

"Iya Sayang, Umi maafin. Raki, lain kali kalau ada sesuatu bilang sama Umi dan Abi!"

"Raki gak mau buat Umi dan Abi khawatir. Maaf kalau kelakuan Raki bikin Umi khawatir, tapi Raki bisa menangani masalah ini Umi."

Bagi seorang Ibu, anak yang sudah tumbuh dewasa bahkan yang sudah berkeluarga, tetap saja di matanya adalah seorang anak kecil yang manja.

Raki mendatangi Harlan di kamarnya. Tak lupa tentunya Raki mengetuk pintu terlebih dulu.

Tok tok tok!

"Bang Alan. Ini Raki, boleh masuk gak?"

Tak ada jawaban. Raki masuk ke dalam kamar Harlan tanpa izin dari si pemilik.

Raki menengok ke sekeliling kamar mencari keberadaan Abangnya.

Samar-samar terdengar suara tangisan dari balik pintu toilet kamar Harlan.

Raki mencoba membuka pintu toilet dengan paksa karena Harlan tak mau membuka pintu. Gara-gara kejadian ini membuat seluruh anggota keluarga jadi berkumpul di kamar Harlan.

Pintu berhasil di buka. Semua terkejut dengan kondisi Harlan dengan tangan yang mengeluarkan darah dan satu tangan lagi memegang pisau.

Felix membawa Harlan keluar dari toilet. Kamu menangis di hadapan Harlan.

"Ada apa Alan? Kenapa kamu begini?!"

"Aku pembunuh Annisa, Umi! Harusnya aku yang mati, bukan Annisa! Kalau aku mati kalian bakal tenang bahagia dan aku bisa juga bisa kumpul sama ayah bunda!"

Kamu segera memeluk Harlan. "Umi sayang sama kamu, Harlan! Kamu juga anak Umi dan Abi!"

⭐⭐⭐

Rudira artinya darah

Till JannahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang