Desahan lega keluar dari mulut Nara seraya mengelus perutnya yang sangat kekenyangan.
Isaac hanya bisa geleng-geleng kepala melihat sifat hobi makan Nara. "Kau ini kenapa makan terus dari tadi?" Celetuknya.
Nara menatap Isaac tajam. "Kau takut stok makanan di rumahmu aku habiskan?" Tanyanya sewot.
Isaac terkekeh geli melihat reaksi Nara yang terlihat sangat menggemaskan di matanya. "Aku hanya bertanya. Tidak perlu menatapku sinis seperti itu, amour."
Gadis cantik itu melipat tangan di dada seraya menatap Isaac angkuh. "Kalau kau tidak sanggup memberiku makan, maka pulangkan saja aku ke rumah."
"Astaga, amour! Apakah kau pikir suamimu ini tidak mampu memberimu makan banyak?"
Nara mengendikkan kedua bahunya cuek. Mengambil gelas dan meminumnya hingga tandas. Ia kembali menatap Isaac kala teringat akan sesuatu. "Bagaimana dengan kuliahku?"
"Bagaimana apanya?" Isaac bertanya tak mengerti.
Nara berdecak kesal. "Masa liburku hanya tersisa tiga Minggu lagi. Kau tidak berpikiran menahanku di sini selamanya 'kan?"
"Tidak perlu melanjutkan kuliahmu. Cukup menjadi istriku dan selalu berada di sisiku selamanya." Ucapan Isaac membuat Nara melotot kaget.
"Aku tidak mau berhenti kuliah!" Jeritnya kesal.
"Kenapa, amour? Aku bisa menghidupimu dan memberikan apapun yang kau inginkan."
"Bukan masalah itu tapi masalah status. Aku ingin layak bersanding dengan pengusaha sukses sepertimu." Jawab Nara sehalus mungkin supaya Isaac tak menentang keinginannya.
"Kata siapa kau tidak layak bersanding denganku?" Isaac menangkup kedua belah pipi Nara dan menatapnya intens. "Dengarkan aku, amour. Kau itu layak bersanding denganku karena aku mencintaimu."
Nara menatap Isaac sendu. Kedua tangannya terangkat dan mengenggam tangan Isaac. "Kau memang mencintaiku tapi apa kata orang diluaran sana kalau aku tidak mempunyai hal yang dapat kubanggakan dari diriku? Mereka pasti akan menganggapku remeh, rendah, dan tidak pantas untukmu. Aku tidak ingin itu terjadi. Aku ingin berdiri sejajar di sampingmu, menjadi kebanggaanmu, dan dianggap layak oleh semua orang, suamiku."
Mendengar kata 'suamiku', Isaac luluh seketika. Senyuman lebar menghiasi bibirnya.
"Baiklah. Aku tidak akan menyuruhmu berhenti kuliah tapi kau harus pindah kuliah ke sini karena aku tidak bisa meninggalkan perusahaan."
Nara tersenyum bahagia seraya memeluk Isaac erat. "Terima kasih."
Isaac tersenyum lembut, membelai puncak kepala Nara, dan mengecupnya pelan. "Aku akan mengurus prosedurnya untukmu. Apakah kau mau pindah ke Oxford University?"
Nara mengangguk penuh semangat.
"Baguslah kalau begitu. Aku akan lebih tenang membiarkanmu kuliah di sana."
Gadis itu mendongak dengan tatapan heran. "Kenapa?"
"Karena aku punya kenalan di sana. Jadi, jika kau berani berdekatan dengan laki-laki lain, lihat saja bagaimana caraku menghukummu."
Seringaian Isaac membuat Nara mengerucutkan bibir kesal. "Kau ini posesif sekali."
"Aku posesif karena ingin menjaga milikku, amour." Isaac mengecup pipi Nara sekilas.
Nara menyandarkan kepalanya ke bahu Isaac. "Terlalu posesif juga tidak baik. Kau bisa membuatku merasa tertekan dan berakhir berusaha ingin kabur darimu."
"Tapi, kau tidak akan bisa kabur dariku."
"Ya. Mungkin aku tidak bisa kabur darimu tapi cintaku akan memudar untukmu karena kau tidak bisa memberikan sedikit kebebasan padaku. Cinta yang diselimuti keposesifan dan kearoganan akan berubah menjadi duri dalam daging. Menyakiti dan melukai tanpa ampun." Gumam Nara penuh arti.
Isaac terdiam. Berusaha mencerna maksud perkataan Nara. Setelah terdiam beberapa detik, akhirnya ia pun bersuara. "Maksudmu kau tidak akan kabur dariku jika aku memberimu sedikit kebebasan? Kau akan tetap mencintaiku dan berada di sisiku selamanya?"
"Ya."
Isaac merangkul bahu Nara lalu mengecup puncak kepala gadis itu lembut dan penuh kasih sayang. "Aku akan mencobanya."
Nara tak kuasa menahan senyum mendengar perkataan Isaac.
Akhirnya, pria itu mau mengerti dirinya juga.
Ternyata, menghadapi pria posesif seperti Isaac harus menggunakan kelembutan bukan pemberontakan.
"Ehm, tapi bagaimana caraku memberi tahu mommy dan Daddy?" Gumam Nara kemudian kala teringat akan kemungkinan penolakan kedua orangtuanya.
"Apalagi selain mengatakan bahwa kita sudah menikah." Jawab Isaac begitu santai sehingga membuat istri cantiknya menganga kaget.
"Kau mau membuat orangtuaku mati jantungan karena mendengar ucapanmu?!"
Sebelumnya tujuan Nara ke luar negri adalah liburan bukan untuk menikah!
Bagaimana mungkin orangtuanya tidak akan jantungan mendengar perkataan Isaac?
Keduanya pasti akan kaget setengah mati mengetahui anak gadis mereka pulang membawa suami bukan membawa oleh-oleh.
"Maksudmu kau tidak ingin mengakui ku pada orangtuamu?" Tanya Isaac kesal.
"Bukan itu maksudku. Aku akan mengakuimu tapi beri aku sedikit waktu untuk mencari waktu yang tepat supaya mereka tidak memarahiku."
Isaac tersenyum miring. "Serahkan saja semuanya padaku, amour. Kau tinggal diam dan menunggu hasilnya."
Nara hendak bertanya tapi Isaac lebih dulu menggendongnya ala bridal style, membuatnya sangat terkejut dan menjerit. Ia memukul dada Isaac kesal. "Aku memang kecil dan ringan tapi jangan seenaknya menggendongku secara tiba-tiba!" Omelnya.
Isaac tertawa geli melihat wajah menggemaskan sang istri saat mengomelinya. Lantaran tak bisa menahan rasa gemasnya, ia langsung menyerang bibir Nara untuk melampiaskan kegemasannya.
Nara yang diserang secara mendadak hanya bisa mengerjap kaget.
"Let's do the first night, my wife."
Bisikan Isaac menghadirkan semburat merah di pipi Nara. Semerah bunga mawar yang sedang bermekaran.
Indah, menarik, dan mempesona di mata siapapun yang melihatnya serta tak sabar untuk menikmatinya.
Bersambung...
19/11/22
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Husband
RomanceDi akhir kehidupannya, Nara sangat menyesal telah meragukan Isaac dan lebih memilih George yang menghancurkannya tanpa sisa. Merebut hartanya dan membunuhnya. Namun, siapa sangka Nara kembali ke masa lalu. Lebih tepatnya saat dia diculik saat jalan...