Jangan lupa vote dan komen ╹▽╹
Mobil berhenti di gerbang kediaman keluarga Nara. Satpam membukakan pagar dengan sigap. Mobil masuk ke dalam kediaman mewah Nara.
Isaac menghentikan mobilnya ketika sudah sampai di dekat pintu utama mansion. Mematikan mobilnya dan menoleh ke arah Nara.
Bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman melihat Nara tengah tertidur pulas di sampingnya. Disentuhnya pipi Nara perlahan dan penuh kehati-hatian supaya istrinya tak terbangun. Sayangnya, Nara tetap terbangun oleh sentuhannya.
Wanita cantik itu membuka mata dan menatap Isaac sayu. "Kita sudah sampai?" Tanyanya serak.
Isaac mengangguk.
Nara manggut-manggut mengerti. Kemudian keluar dari mobil tanpa sempat dicegah Isaac.
Isaac hanya mampu menggelengkan kepala heran melihat tingkah sang istri.
"ARGHHH!!"
Isaac tersentak kaget mendengar jeritan Nara.
Bergegas keluar dari mobil dan menghampiri Nara.
Wajahnya sontak menyiratkan kekhawatiran melihat Nara terduduk di tanah. "Kenapa, amour?"
Nara mendongak. Mata sayunya tadi sudah terbuka sepenuhnya dan menatap Isaac sedih. "Kakiku terkilir." Adunya.
Isaac menghela nafas panjang. "Makanya hati-hati, amour."
Nara mengarahkan kedua tangannya ke Isaac. "Gendong!"
Isaac langsung menggendong Nara tanpa keberatan sedangkan Nara mengalungkan kedua tangannya ke leher pria itu.
"Lain kali dengarkanlah perkataanku, amour."
Nara merenggut.
"Jangan memakai high heels lagi. Aku tidak ingin kejadian ini terjadi untuk kedua kalinya."
Nara menatap Isaac protes. "Kalau aku tidak memakai high heels, maka aku akan terlihat seperti adikmu. Bukan istrimu."
Isaac mengulum senyum mendengarnya. Istrinya memang sangat pendek jika dibandingkan dirinya. Mungkin tinggi Nara hanya sebatas dadanya.
"Jangan pedulikan pendapat orang lain tentang dirimu, amour. Karena yang paling terpenting adalah kenyamananmu sendiri."
"Hmm." Sahut Nara tak mau memperpanjang masalah.
Yang diinginkannya sekarang adalah mandi dan setelah itu tidur. Tubuhnya sangat gerah dan lelah.
Isaac menunduk dan melihat Nara telah memejamkan mata hingga pria itu menyimpulkan Nara kembali melanjutkan tidurnya.
Mulutnya terkunci rapat. Kakinya terus melangkah. Menaiki lift hingga sampai di lantai 3. Keluar dari lift dan bergegas menuju kamar Nara. Setelah sampai di sana, ia meletakkan istrinya di atas kasur secara perlahan supaya tak terbangun.
Isaac terkejut melihat Nara membuka mata. "Ternyata kau belum tidur, amour."
Nara menguap pelan. "Aku mandi dulu, setelah itu baru tidur."
"Tidak usah mandi. Ini sudah jam 12 malam." Larangnya.
"Tapi aku gerah." Bantah Nara.
Isaac mengambil remote AC dan mengatur suhunya. "Tidur pakai AC saja, oke?"
Nara mengangguk terpaksa.
Isaac naik ke atas tempat tidur. Lalu memeluk tubuh Nara lembut. Tak lupa menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka tapi Nara malah menendang selimut yang menutupi tubuhnya.
"Kenapa selimutnya di tendang?" Tanya Isaac berusaha sabar.
"Panas."
"Pakai selimutnya, amour. Nanti kau kedinginan."
Nara menggeleng seraya mendorong Isaac. "Jangan peluk-peluk!"
Isaac berdecak kesal dan melipat tangannya di depan dada. Memejamkan matanya. Berusaha untuk tidur meskipun tanpa memeluk Nara.
"Kakiku masih sakit. Kau tidak berinisiatif untuk mengurutnya?" Celetuk Nara.
Isaac tersentak kaget dan refleks membuka mata. "Maaf, amour. Aku lupa." Pria itu bangkit dari posisinya dan mulai mengurut kaki Nara.
Nara tak kuasa menahan senyum melihat betapa perhatiannya Isaac meskipun dia sudah membuat Isaac merasa kesal.
Tiba-tiba wanita cantik itu teringat pada sesuatu. "Isaac." Panggilnya.
"Kenapa, amour? Kakimu semakin sakit karenaku?"
Nara menggeleng sehingga Isaac mengerutkan kening heran.
"Boleh aku bertanya sesuatu?"
Isaac mengangguk.
"Aku bukannya berniat menuduhmu tapi--"
Isaac ketar ketir sendiri mendengar perkataan Nara.
'Apakah dia salah paham padaku?' tanyanya dalam hati.
Mata tajam Nara kian membuatnya merasa tidak nyaman. "Kenapa, amour? Kau ingin menanyakan apa sebenarnya? Katakan saja. Jangan menggantung ucapanmu."
Nara semakin memicingkan mata tajam ke arah Isaac. "Apakah kau yang memblokir nomor sahabat-sahabatku?!"
Isaac tercengang.
"Kemarin Lucia dan Vernando mengatakan padaku bahwa nomorku tidak bisa dihubungi, padahal nomorku selalu aktif. Jadi, apa benar kau yang memblokir nomor mereka?"
Isaac terdiam sejenak sebelum akhirnya tertawa geli. "Aku pikir kau ingin menanyakan apa tapi ternyata menanyakan masalah sepele ini, amour."
Nara mengerjap polos. "Memangnya kau pikir aku akan bertanya apa padamu?"
Isaac menggeleng. "Lupakan saja."
Nara mendengus kesal. "Lalu, bagaimana dengan pertanyaanku?"
Isaac mengelus kaki Nara dan tersenyum tanpa dosa. "Ya. Aku lah yang memblokir nomor mereka."
Nara menutup mulut kaget.
"Tidak hanya nomor mereka berdua yang kublokir tapi seluruh nomor di kontakmu. Kecuali nomor keluargamu."
Nara mengigit bibir bawahnya gemas.
Pantas saja selama ini tidak ada seorang pun yang menghubunginya!
Ternyata penyebabnya Isaac!
"Kenapa kau melakukan itu?" Gumam Nara masih tak habis pikir pada Isaac.
Isaac menghentikan kegiatannya. Beralih menindih tubuh mungil Nara. Tatapannya terlihat setajam elang dan bibirnya menyeringai licik. "Tentu saja karena aku tidak ingin kau kabur dariku, amour."
Nara menelan saliva kasar.
Isaac sungguh mengintimidasinya!
Nyalinya ciut seketika hingga berakhir memendam niatnya untuk memarahi sang suami.
Bersambung...
7/2/22
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Husband
RomanceDi akhir kehidupannya, Nara sangat menyesal telah meragukan Isaac dan lebih memilih George yang menghancurkannya tanpa sisa. Merebut hartanya dan membunuhnya. Namun, siapa sangka Nara kembali ke masa lalu. Lebih tepatnya saat dia diculik saat jalan...