TITIK SATU 5 - Sengatan listrik

4K 361 15
                                    

HALLO!!! HALLO!!! HALLO!!!

Ketemu lagi nih sama Cosu, Cintah!!!

Gimana kabarnya hari ini? semoga baik-baik aja ya.

Jam berapa dan hari apa kamu baca bagian ini?

Kalian lagi seneng atau lagi badmood nih? Maaf yah Cosu telat update TITIK SATU.

TITIK SATU ini adalah cerita ketiga Cosu dan semoga Cintah semua suka ya!!!

Yuk bantu doa dan share cerita ini supaya sukses dan tamat sampai akhir...

Oiyah, Mimpi atau Cita-cita kalian apa? yuk coret-coret disini supaya Cosu bantu doa.

Sudah siyap baca???

Skuy gasken!!!

________________________________________________________________________________

SELAMAT MEMBACA CINTAH

________________________________________________________________________________

Jika mereka mendapat usapan lembut di puncak kepala sebagai bentuk kasih sayang. Tapi, kenapa saya pukulan?

Rere mengepalkan tangannya kuat, kuku-kuku putihnya bahkan sampai menusuk kulit. Rere menarik nafasnya pelan, menarik kedua sudut bibirnya dengan kaku, "Pe-permisi bu," ujar Rere undur diri.

Tanpa menunggu jawaban dari Mrs. Pratiwi, Rere langsung melenggang pergi keluar. Mrs. Pratiwi menatap punggung Rere yang perlahan termakan daun pintu dengan sendu.

Rere menutup daun pintu, punggungnya bersandar dengan lemah disana. Rere mengendurkan kepalan tangannya, saat itu juga tangannya mulai bergetar dengan hebat. Rere memegangi dadanya yang terasa sesak, tangannya yang lain berusaha merogoh saku dan mengeluarkan botol obat dari sana.

Lagi dan lagi Rere harus terpaksa meminumnya.

Rere menarik nafasnya dalam, mengontrol nafasnya yang masih terasa sangat berat.

Orang-orang yang berlalu-lalang menatap Rere dengan aneh, bahkan dari mereka ada yang dengan sengaja berhenti dihadapan Rere.

"Ngobat lo?" tanyanya. Rere mendongak, menatapnya dengan datar. Tanpa mau mengubris, Rere mendorong bahu perempuan berambut ombre itu dengan kasar dan melewati tubuhnya begitu saja.

Rere memasuki satu bilik toilet dengan langkah cepat, mendorong pintu dan menutupnya dengan kasar. Rere menyalakan keran, membasuh wajahnya dengan air. Dia menatap cermin dengan kosong, tanpa sadar buliran bening itu perlahan turun.

Dilepasnya ikatan rambut berwarna hitam itu dengan kasar, menarik rambut hitamnya frustasi, "Bodoh-bodoh-bodoh!" maki Rere dengan terus menarik rambutnya kuat.

Rere menangis sejadi-jadinya, tubuhnya luruh ke lantai.

"Kenapa lo bodoh banget sih, Re?" tangan Rere beralih memukuli kepalanya, dengan keras dan terus-menerus. Lalu menarik rambutnya, membentur-benturkan kepalanya ke dinding. Rere terus menyakiti tubuhnya, menangis histeris seorang diri tanpa ada yang menenangkannya.

Kepala Rere menengadah, membiarkan air matanya mengalir dengan begitu deras dari pelupuk mata hingga ke bawah dagunya. Dada Rere terasa sangat sesak, kepalanya penuh akan kemarahan Papanya.

Rere yakin, hidupnya malam ini tidak akan bisa damai. Lintar pasti akan sangat murka.

Tubuh Rere bergetar hebat, isakan pilu mengisi kesunyian dalam ruang dingin itu. hanya ada suara gemercik air yang keluar dari keran yang menemaninya, memendam isakan Rere agar tak terdengar dari luar.

TITIK SATUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang