Lelah tak membuat pria berkaos hitam polos itu lupa akan pekerjaannya. Jam menunjukkan pukul lima, deras hujan masih tetap sama. Dia melangkah masuk ke arah ruang redaksi Kalam Maya. Lampu masih menyala meski sudah tak terlihat aktivitas apapun di sana.
“Kebiasaan, diajak ngirit tetep aja lalai,” gumam Ubay sembari menggeleng kepala.
Dia tak melihat ke arah lain. Hanya fokus ke mejanya. Beberapa lembar kertas tersusun rapi di meja dengan sticky note disetiap bendel kertas. Mata elang itu dengan jeli menelusuri setiap kata, sesekali bolpoin di tangannya menggores kalimat-kalimat tak perlu yang ada di paparan kertas.
Suara isak membuat Ubay tersentak. Refleks dia menoleh ke arah sumber suara. Di balik tumpukan kardus kosong di samping conveyor printing, sesosok tubuh tengah lunglai bersandar di meja. Ubay mendekat.
“Lah, ada orang ternyata.”
Sahla, tertidur dengan kepala di atas meja. Tubuhnya berguncang karena isak.
“Hobi banget sih nangis, kirain udah bener-bener nggak cengeng,” gumam Ubay sembari menatap gadis itu heran.
Sang pria mencari cara membangunkan akhwat yang sudah resmi menjadi anak buahnya itu. Dia mengetuk meja tiga kali. Tapi Sahla tak terganggu, suara hujan diluar cukup membuat kebisingan hingga membuat pendengaran sang akhwat termanipulasi.
Ubay menemukan cara lain, cara yang biasa ia lakukan untuk membangunkan Uta dan Uka ketika kecil. Gulungan kertas karton di meja printing, menjadi alat pilihannya. Satu ketukan di bahu, lagi-lagi tak berhasil membangunkan Sahla.
“Ini tidur apa sakaratul maut sih? Apa iya harus ditalqin?” Monolog Ubay.
Pada akhirnya Ubay memilih cara yang lebih ekstrim, dia mencoba mengetukkan gulungan karton di kepala Sahla. Satu kali, dua kali gagal. Dipercobaan ketiga, dia menambah sedikit kekuatannya hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Dan, berhasil.
“Astagfirullah,.” Sahla terbangun.
Dia segera mengusap wajahnya, membersihkan sisa air matanya. Matanya yang tadi masih samar-samar melihat sosok yang tengah membawa gulungan kertas itu kini mulai jelas.
“Mas mukul aku?” Sahla menanyakan pertanyaan retoris. Jelas-jelas dia tahu hal itu.
“Kamu dibangunin nggak bangun-bangun. Sana pulang, kalau mau tidur tuh di rumah. Ngapain tidur di sini? Biar dikira kerja di sini berat? Sampai kecapean terus nggak punya waktu istirahat gitu?”
Sahla menatap Ubay heran. Dia memastikan apakah laki-laki ini adalah orang yang sama dengan yang dikenalnya selama dua bulan ini?
“Mas kok gitu sih? Aku nggak sengaja ketiduran.”
“Buruan sana pulang. Mana tugasmu? Aku mau kerja, jadi mending kamu keluar dari sini. Kecuali kamu mau niru kisah Siti Zulaikha dan Nabi Yusuf? Sayangnya, levelmu masih sangat jauh dari beliau.”
Sahla memejamkan mata, membaca doa ketika marah yang diajarkan pria yang sama dengan yang kini berdiri di depannya itu. Berusaha mengusir amarah.
“Aku nyesel kagum sama kamu. Pantes aja banyak yang bilang kamu brengsek. Begini cara kamu memperlakukan perempuan? Meras superior dengan ketampanan, kepintaran, ilmu agama, dan predikat Gus yang kamu sandang?”
Sahla tak berbicara dengan nada tinggi. Justru sebaliknya, tak ada nada dalam kalimatnya. Dia segera menggeser sebuah buku yang akan dilaporkannya pada Ubay.
“Soft filenya, sudah aku kirim di email. Silakan dicek. Misal ada yang perlu direvisi silakan beritahu aku.”
Ubay membuka buku tulis milik Sahla. Matanya menyipit.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALLAH GUIDE ME (TAMAT)
Romance"Ya Allahu Ya Rabb, tuntun aku ke Jalan-Mu. Jalan lurus yang Engkau ridhoi."