Part 9. Hukum Menyakiti Diri

446 81 11
                                    


“Kamu ngapain sih, Sa?”

Mau ikut main boleh?”

“Nggak! Nanti kamu ketularan kami bodoh loh! Kayak kata mamamu. Sana pergi.”

“Aku pengen ikut, Mbak.”

“Nggak boleh! Sana pergi. Kami nggak mau dimarahin sama mamamu.”

***

Wajah dengan mata terpejam itu terlihat mengekspresikan kesedihan. Air mata lolos meski kedua mata itu tertutup.

“Mbak, Mas, Sa mau ikut main. Boleh ya? Sa nggak punya temen. Sa nggak mau jadi anak pinter, Sa maunya punya temen.”

Gadis itu meracau. Qonita berusaha membangunkan Sahla tapi temannya tak kunjung bangun. Kompres diletakkannya di atas dahi Sahla.

“Sa, kamu kenapa? Kamu ngimpi apa sih?”

Tangis dalam tidur Sahla sudah dari seperempat jam lalu terdengar, Qonita benar-benar bingung dan akhirnya menelpon Khalid, meminta tolong untuk membelikan obat untuk Sahla. Salam terdengar, Khalid tak datang sendiri.

“Sa pengen punya temen, Ma. Sa pengen main. Sa capek belajar, Ma. Sa capek, Ma.”

Terus saja kalimat seperti itu terdengar lirih beriring isak.

“Bawa ke klinik aja deh, dari tadi nggak bangun?”

“Iya, dia kayak gini terus. Tadi habis salat dia tidur, terus ngigau kayak gini, Aku bangunin dia nggak mau bangun.”

Sosok berpeci hitam yang berada di ambang pintu ahirnya masuk.

“Qon, ambilin air putih anget ya.”

Pria itu kemudian mendekat ke ranjang kayu tempat sang dara tidur.

“Sa mau punya temen, Ma.”

Ubay, duduk di tepi ranjang, dia mengambil kompres di dahi Sahla, menggantinya dengan handuk kecil yang direndam Qonita di baskom sebelum memerasnya dan menempelkan di atas dahi. Bibir kemerahan sang pria melafalkan doa sembari menekan handuk kompres di dahi Sahla.

“Mama, Sahla capek Ma. Papa, Sahla nggak kuat lagi.”

Assalamualaikum, Sahla. Kenapa kamu capek?” ucap Ubay tanpa mengalihkan tangannya dari kening Sahla.

“Sa capek. Sa pengen kayak temen-temen lain. Sa capek hidup sendirian. Sa nggak punya temen. Sa capek harus belajar dan belajar. Sa capek dikucilkan. Sa capek hidup.”

Air mata yang keluar semakin deras, tubuh gadis itu berguncang arena isak. Ubay menatap wajah penuh kesedihan itu, entah kenapa rasa iba muncul.

“Dek Sa, kenapa Dek Sa bilang nggak punya teman? Ada Qonita. Dia teman Dek Sa kan?”

Tak ada jawaban, hanya isak dari sana.

“Kang, ini airnya.” Qonita muncul dengan segelas air putih yang tadi diminta Ubay.

“Makasih.” Senyum tak lupa dikembang Ubay.

Pria itu melepas tangannya dari kening Sahla. Dia menggenggam gelas, mengucap istigfar beberapa kali, kemudian membaca surah Al Fatihah dan beberapa surah serta doa lain sembari meraih tangan Sahla. Pria itu menyentuh satu titik di antara ibu jari dan telunjuk Sahla, menekannya lembut.

“Dek Sa,” panggilnya lembut.

Sontak akhwat yang terbaring lemah itu membuka mata. Qonita yang sudah menangis karena kebingungan dan panik di samping Khalid memekik lega.

ALLAH GUIDE ME (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang