Part 34. Kejutan

364 71 43
                                    

Suara kicau burung terdengar bersahutan. Pria berumur tujuh puluh lima tahun dengan sarung tenun berwarna coklat terlihat duduk berhadapan dengan pria berumur dua puluh enam tahun yang tengah menatap kagum pada burung di sangkar bilah bambu seadanya.

"Mbah, kok pintunya mboten diganti?"

Sang pemuda heran, wujud sangkar itu sudah tak layak. Pintunya pun tak terkunci. Burung kutilang di dalamnya bertengger di bilah bambu berbentuk bulat yang memotong horizontal sangkar.

"Biar saja. Memang sengaja simbah buat begini. Kalau dia mau pergi ya biar dia pergi, kalau dia mau di sini ya biar disini. Yang penting simbah kasih dia makan, kasih dia minum. Coba tunggu, sebentar lagi yang lain bakal pulang."

Pria itu menggeser sangkar burungnya menjauh. Si burung kutilang di dalam sangkar tak terasa terganggu. Ubay mengamati sangkar itu dalam diam.

Lima menit kemudian, benar saja ada empat burung lain masuk ke dalam sangkar. Mata cantik yang menurun dari Ummah Hana itu mengerjap takjub.

"Masyaallah, Mbah, kok bisa begitu?"

Sang kyai tertawa melihat cucunya heran.

"Semua kandang di sini, pintunya sengaja Simbah buat seperti itu karena hal ini. Kita tidak boleh memenjarakan makhluk. Merenggut kebebasan makhluk itu sama saja dengan mendzoliminya. Mau kamu jadi dzolim?"

Ubay menggeleng cepat.

"Pada hakikatnya, semua makhluk itu, kalau sudah nyaman pada satu tempat. Maka sejauh apapun dia pergi, dia akan kembali ke sana."

Pria sepuh itu menyandarkan punggungnya ke tiang penyangga balai rumah yang sudah setua dirinya meski masih terlihat kokoh.

"Hanya saja, kadang begini. Ada satu pihak yang terkesan mendominasi dan pihak lain otomatis mengambil peran sebagai si lemah yang tersakiti, sebagai korban dari si superior."

Ubay mengalihkan pandangnya, menatap pria yang raut wajahnya begitu menentramkan. Tak pernah ada gurat amarah di sana.

"Apa kamu pernah mikir ke sana?"

"Gimana Mbah maksudnya?"

Pria itu menyeruput wedang uwuh buatan sang istri sebelum melanjutkan perbincangan.

"Apa kamu pernah berpikir, para pecinta burung atau binatang diluar sana itu jahat apa baik?"

Ubay mengernyit. "Baik, Mbah. Kan mereka pasti memperlakukan peliharaannya dengan baik. Namanya juga pecinta satwa, otomatis semuanya dijamin, kan?"

Pria tua tadi mengangguk.

"Benar. Pinter kamu, terus gimana?"

Ubay menatap kakeknya lagi. "Gimana apanya Mbah?"

Kali ini si pria tua terkekeh. "Sudah jawabanmu itu saja?"

Cucunya mengangguk dengan raut heran, seolah berpikir apa yang salah dengan jawabannya.

"Coba liat dari sisi lain. Itu, liat burungnya tetangga sebelah. Kira-kira kalau kamu buka kancing pintu sangkarnya, terbang nggak itu burung cucaknya?"

"Terbang Mbah paling," jawab Ubay sembari melongokkan kepala ke arah rumah tetangga sang kakek.

"Kenapa? Sangkarnya bagus, makanannya terjamin, dikasih vitamin, dielus-elus. Tapi kenapa kalau dibuka sangkarnya dia terbang? Hidupnya sudah terjamin padahal, nggak mungkin ditembak orang, nggak mungkin kelaparan, nggak kehujanan, pasti disayang majikan. Tapi kenapa rasanya kurang?"

Kali ini Ubay mulai paham arah pembicaraan kakeknya.

"Karena dia merasa terkekang, Mbah. Merasa iri dengan burung lain di luar sana yang kelihatannya bisa terbang bebas, padahal sebebas-bebasnya hidup lepas liar, tetap ada sisi negatifnya. Makannya tidak terjamin, tempat tinggalnya tidak terjamin, dan keselamatannya dari pemburu juga tak terjamin."

ALLAH GUIDE ME (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang