Tatapan kosong ke arah jendela dilemparkan dara yang tangan kirinya berbalut gips putih.
“Obatnya diminum! Kamu nggak boleh pergi kemanapun.”
“Pa, Sa mau ambil barang-barang Sa di Solo dulu.”
“Nggak usah, nanti biar Papa yang ke sana. Kamu ini kenapa bisa seenaknya masuk ke pesantren? Nggak ijin sama Papa? Kamu pikir kamu anak liar yang nggak punya orang tua? Apa jangan-jangan selama ini kamu juga kayak gitu selama ngekos? Bertingkah liar nggak bisa diatur.”
Sahla tak menjawab. Air matanya pun telah kering rasanya, kemarin semalaman dia menangis akibat dimarahi sang ayah. Belum lagi tangannya yang terasa begitu ngilu dan beberapa luka di bagian tubuhnya yang lain kini membiru.
Gadis itu berpikir, inikah hukuman untuknya yang melanggar adab? Inikah hukuman yang datang untuk memperingatkannya agar tidak lagi berada di tempat suci itu? Dia tidak pantas berada di tempat para ahli agama di sana. Apalagi karena kebodohannya, dia membuat nama seorang Gus ternoda.
“Papa kecewa sama kamu.”
Ucapan sang ayah sudah cukup jelas didengar, dimaknai, dan dipahami oleh otak Sahla.
“Nama pesantrennya apa?” tanya sang ayah.
“Nurul Ilmi.”
“Nurul Ilmi? Sekolahnya si Adzana?”
“Iya, Pa.”
Setelah itu sang ayah pergi dan suara kunci pintu terdengar diputar dua kali. Sahla hanya bisa diam, merenungi nasibnya. Entah berapa lama dia terbaring tak berdaya di atas ranjang sampai suara pintu dibuka terdengar. Sosok bocah berumur sembilan tahun yang masih menggunakan seragam sekolah muncul.
“Mbak Sa?” panggil bocah itu.
“Shafiq sudah pulang?” sapa Sahla sembari bangun dari pembaringannya. Seulas senyum digambar sang dara.
“Mbak ini sakit?” tanya bocah itu sembari menunjuk tangan kiri Sahla.
Sahla menggeleng. “Udah diobati Papa, udah sembuh.”
“Kata Papa, Mbak Sa nakal ya?” tanya anak itu sembari duduk di samping sang kakak.
Sahla mengangguk. “Afiq nggak boleh nakal kayak Mbak ya, Afiq kan anak pinter, anak soleh. Kebanggaan papa sama mama.”
“Mbak Sa nggak bosen di kamar? Mbak mau main game? Afiq punya laptop baru. Punya komputer baru juga,” ucap anak itu bangga.
Sahla menanggapi sang adik dengan mata berbinar.
“Pasti kamu juara kelas lagi ya?”
Anak itu mengangguk bangga. Memang itulah reward yang akan mereka dapatkan ketika prestasi akademik mereka raih. Dibalik ketatnya aturan kedua orang tua mereka, kadang mereka mendapat hadiah yang cukup membuat teman lain iri.
“Mba boleh pinjem laptopnya?” tanya Sahla.
Syafiq tak berpikir, dia langsung mengangguk. “Boleh. Aku ambilin dulu ya, Mbak.”
Anak itu begitu bersemangat keluar dari kamar dan tak lama kembali dengan benda pipih berukuran empat belas inchi berwarna hitam.
“Ini Mbak, aku mau maem dulu ya terus habis itu mau les.”
“Afiq dianter siapa lesnya?”
“Pakde Mun.”
“Oh, hati-hati ya. Kunci lagi pintunya, takut papa tahu kalau kamu buka pintu.”
Syafiq mengangguk. Sementara itu Sahla mendapat secercah cahaya dengan pinjaman laptop dari adiknya. Dengan cepat dia menggunakan benda itu, meyambungkan koneksi internetnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALLAH GUIDE ME (TAMAT)
Romansa"Ya Allahu Ya Rabb, tuntun aku ke Jalan-Mu. Jalan lurus yang Engkau ridhoi."