Gerimis mengguyur senja yang kelabu. Mendung menggelayut sedari siang dan ahirnya menumpahkan rintik yang semula setitik menjadi berlarik-larik. Pria berpeci yang selesai bermurajaah itu kini menggeser tubuhnya, meraih beberapa kertas yang menjadi tanggung jawabnya.“Gimana cara efektif ngapalin mufrodat?” gumam sang pria membaca lembar surat teratas, kemudian menuliskan beberapa kalimat jawaban di sana.
“Gimana caranya bisa lulus dari sini tanpa pusing hapalan? Lah, ngapain masuk pondok kalau nggak mau hapalan?” kekeh Ubay.
Beberapa pertanyaan nyeleneh lain terulis setelahanya dan di kertas terakhir, kini Ubay menajamkan mata.
“Assalamu alaikum waramatullahi wabarakatuh. Bolehkah saya bertanya tentang birul walidain? Apakah, ketika seorang anak, memiliki keinginan sendiri dalam menentukan jalan hidupnya. Mencoba merealisasikan mimpi yang dia punya. Apakah itu hal yang salah dalam cara pandang Islam? Bolehkah jika mengutarakan keinginan yang bertentangan dengan keinginan orang tua, dalam ajaran Islam? Apakah itu termasuk dalam salah satu perbuatan yang disebut durhaka? Terima kasih untuk jawabannya. Wassalamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.”
Ubay menuliskan jawaban di kertas itu. Dia sampai harus menggunakan kertas miliknya untuk menjawab pertanyaan yang cukup serius itu. Sejak menjadi bagian dari divisi literasi pesantren, baru kali ini dia mendapat pertanyaan seperti itu. Ketukan pintu membuat Ubay mendongakkan kepala. Sosok kurus yang tingginya berbeda lima senti dengannya itu mengucap salam. Ubay menjawab salam dan tersenyum lebar mendapati adik yang umurnya berbeda satu tahun darinya itu mendekat.
“Sibuk?”
“Nggak, lagi jawab surat cinta,” kelakar Ubay.
Keduanya memang terlahir dari rahim dan investor yang sama, tetapi perangainya jauh berbeda. Ubay sangat ramah, mudah bergaul, sedang adiknya sangat kalem, irit bicara.
“Mas nggak mau nyoba lanjut sekolah lagi?”
“Dari pada aku lanjut doktoral, aku lebih mikir buat masa depan Umayza.”
“Mas, Mai kan tanggung jawab kita bersama. Jangan jadikan dia alasan Mas buat nggak maju.”
Alis Uta tertaut. Dia terlihat seperti orang marah. Sementara kakaknya, mirip dengan sang ibu yang tak pernah terlihat marah.
“Abah itu pengen Mas juga ke sana.”
“Apa sih pentingnya ke sana? Kalau hanya karena formalitas melakukan adat keluarga, kenapa harus kesana?” Ubay mencoba mengungkapkan pemikirannya dengan nada bicara yang lemah lembut dan santun.
“Mas, kenapa sih Mas keras kepala? Apa Mas nggak mau Abah bangga sama Mas? Mas kenapa senang bikin Abah kecewa? Apa susahnya sih Mas?”
“Aku mau jagain Ummah.”
Uta berdecih kesal. “Mas, ayolah pikir lagi. Mumpung ada kesempatan. Mas bisa ambil master lagi di sana kalau memang belum siap untuk lanjut doktoral.”
“Kamu ini kenapa? Aku yang nggak mau kok kamu yang maksa.”
Uta mengembus napas kesal.
“Mas, aku itu risih! Aku risih denger keluarga kita digunjing gara-gara Mas. Apa Mas nggak malu? Atau setidaknya apa Mas nggak sedih kalau nama Abah jadi tercoreng gara-gara kelakuan Mas yang seenaknya?”
Ubay tersenyum, membuat adiknya semakin kesal.
“Selama ini aku menghormati Mas, sebagai kakakku. Aku selalu jadi bayang-bayang Mas, tapi lama-lama Mas keblinger. Mas ndak pantas ditiru, Mas ndak pantas dicontoh. Mas ndak pantas menyandang nama Ibrahim!”
KAMU SEDANG MEMBACA
ALLAH GUIDE ME (TAMAT)
Romans"Ya Allahu Ya Rabb, tuntun aku ke Jalan-Mu. Jalan lurus yang Engkau ridhoi."