tiga tujuh.

1.9K 188 56
                                    


Warn! 🔞+

Tolong di skip aja ya buat yang belum cukup umur.

ini udah masuk mature sih, aku harap kalian jadi pembaca yang bijak ya.

Sunghoon menghela napas kelewat jengah. Sudah pukul sebelas malam, ia baru saja selesai dengan beberapa lembar kertas laknat yang membuat kepalanya berdenyut pusing. Dua puluh lima butir soal ulangan harian kimia dengan tingkat kesulitan diluar nalar dan benar-benar menguji logika.

Ceklek.

Sunghoon menoleh begitu mendapati pintu kamarnya terbuka. Presensi sang papa berdiri dengan kokoh di ambang pintu, masih mengenakan setelan jas kerja. Sunghoon sedikit demi sedikit merasakan hawa tidak sedap mulai menyebar. Harusnya tadi Sunghoon mengunci pintu kamarnya.

Tak ingin repot-repot mengindahkan, Sunghoon bergegas menutup buku dan membereskan peralatan tulisnya selagi pria itu melangkah menghampirinya di meja belajar.

“Belum tidur? Masih belajar?”

“Papa gak lihat aku lagi ngapain?” ketus Sunghoon tanpa mengalihkan haluan pandang sebab terlalu malas bersitatap dengan seonggok manusia seperti Jimin.

Jimin tersenyum. Akhir-akhir ini pria itu cukup puas dengan pencapaian Sunghoon di sekolah. Tujuan Jimin datang bukan untuk mengibarkan bendera perang. “Bagus, papa harap kamu gak bakalan ngecewain papa. Karena setelah kamu lulus papa mau kamu kuliah di Amerika”

Sunghoon bungkam mendengar penuturan Jimin. Tangan laki-laki itu mengepal kuat hingga membuat buku-buku jarinya memutih. “Udah berapa kali aku bilang? Aku gamau kuliah di Amerika!” oktaf suara Sunghoon meninggi. Meminda refleksi guna menatap netra madu milik Jimin dengan tatapan gusar.

“Tapi kamu harus. Setidaknya kamu masih punya papa yang harus kamu banggakan.”

“Apa papa terlalu khawatir kalau aku gak bisa banggain papa? Aku bisa banggain papa dengan caraku sendiri nanti.”

Mengangkat kedua alis pongah, Jimin lantas tertawa remeh akan kalimat Sunghoon barusan. “Tanpa bantuan papa? Apa kamu yakin kamu bisa banggain papa dengan caramu sendiri, sedangkan dari segala aspek saja kamu jelas masih bergantung sama papa.”

Jimin mengantongi kedua tangannya ke dalam saku celana seraya menarik napas berat. “Kamu tau. Setelah Jay pindah ke apartemen dan memilih hidup terpisah, gak ada yang bisa papa harapkan dari Jay selain kamu. Hanya kamu satu-satunya harapan papa.” Sorot mata pria itu menatap lurus tak terbantahkan. “Bukannya kamu melakukan semua pencapaian besar ini serta-merta hanya untuk mendapat perhatian papa?”

Bibir Sunghoon menipis. Sinar matanya berkilat laksana api yang menyala. Dengan segera bibirnya mengangkasa kan propaganda, “Dan setelah papa tau semua pencapaian ku hanya sebatas dalam konteks itu, apa papa pernah peduli tentang aku? Pemikiran papa terlalu picik sedangkan papa sendiri ga pernah ngebiarin aku hidup dengan pilihanku sendiri.”

Jimin menyerngit seolah kesakitan mendengar kalimat tersebut. Jimin sebenarnya paham betul akan perangainya, akan tetapi kenapa ia seolah tidak terima bilamana mendengar pernyataan itu?

“Papa diam bukan berarti papa gak peduli sama kamu, Sunghoon! Jaga batasan kamu!” Hardik Jimin lantang, tetapi Sunghoon tak gentar balik menatap Jimin dengan tatapan menantang.

“Tapi memang faktanya seperti itu, dan akan selalu seperti itu!” Bentak Sunghoon dengan menggebu.

“Pa, aku capek. Tolong jangan menekan dan mengharuskan aku untuk selalu ada dalam lingkup kemauan papa. Bukannya selama ini aku selalu ngelakuin itu semua semata-mata atas paksaan dari papa? Jadi atlet figure skate? Itu atas dasar paksaan papa. Harus kursus bahasa Prancis, pun itu juga atas kemauan papa. Papa gak pernah bisa ngerti aku. Papa cuma menganggap aku sama Jay sebagai investasi belaka. Apa papa gak pernah sadar?”

[psh] A Mistake Between Us ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang