SEBELUMNYA INI PART UWU, SEBAB PART YANG ANGKANYA AUTHOR SUKA, ANGKA KEBURUNTUNGANKU... SOWWW NIKMATILAH! KALAU KURANG MAKA JANGAN DITONTON! CANDA...
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.07 | I want it? I got it!
"Jika tidak bisa memiliki seutuhnya, lebih baik tidak sama sekali."
~o0o~
Suara Tv terdengar remang-remang saat kesadaran Aruna perlahan terkumpul.
Aruna bergerak pelan setelah nyawa serta matanya mau untuk bangun, namun dia terpaku dengan sosok yang tengah terlelap di sampingnya.
Rahmat...
Dahinya yang berkeringat membuat Aruna merasa kasihan, dia menarik tissu dan melapnya pelan, namun Rahmat langsung menahan tangan Aruna yang tengah melap dahinya.
Aruna terkejut dan menahan nafasnya, Rahmat membuka matanya dan dua mata Rahmat mantap Aruna yang salah tingkah.
NAFASS, ARUNAAA!!! JANGAN LUPA NAFASSSS...-Otak Aruna bilek setelah dia lupa bernafas.
"Nafas Lo bau-" Rahmat!!!
Dia membuat Aruna menjintak dahi yang tadi dia melap begitu lembut.
"Sakit bego!"
Aruna mendengar protes Rahmat setelah itu dia pergi ke kamar mandi.
Rahmat membuang nafasnya, dia juga menahan nafas tadi, bukan, sebelum Aruna bangun. Dia sudah bangun dan asik memperhatikan Aruna yang tengah tidur, namun saat Aruna bangun entah kenapa gerakan Aruna membuatnya menahan nafas.
Ditahan? Ah.. tidak, dia lupa bernafas karna tindakan Aruna barusan.
Astaga apa itu?
Rahmat masih menetralkan degub jantungnya, sementara Aruna??
Dia masih misuh-misuh, sambil menyikat gigi tentunya.
Dia bahkan menyikat giginya 3x tapi emosinya belum berubah. "Mandi ah!"
Dan diapun mandi, keramas malah... padahal kemaras disiang bolong adalah 7 keajaiban dunia bagi Aruna.
Aruna keluar kamar mandi dengan menggunakan kimono serta handuk yang dililitkan di kepalanya, pandangannya menggelilingi rumah, batang hidung Rahmat tidak terlihat.
Kemana bocah itu?
Tapi Aruna menggunakan kesempatan itu untuk berlari menuju kamar dan berpakaian.
Saat dia tengah memoleskan cream siangnya ponselnya yang tengah di charger memunculkan notif.
WhatsApp notis :
KAMU SEDANG MEMBACA
Melancholia
FanfictionMenyatukan dua kepala dalam satu hubungan adalah hal yang sulit untuk yang pertama kalinya merasakan. Sering bertengkar padahal saling merindu, sesulit itu untuk mengatakan perasaan untuk dua kepala ini. Pada akhirnya hal itu terlalu sering terjadi...