34 | Ketika Dia bersamaku.
"Untuk pertama kalinya aku takut jika dia meninggalkan aku ketika aku mencintainya tanpa syarat."
~o0o~
Motor itu melaju menuju arah yang tak tentu, Rahmat binggung. Dia sibuk mencari tempat yang bagus untuk menjadi tempat keduanya lari.
15 menit Rahmat menelusuri akhirnya mereka menemukan tempat yang pas, sebuah taman yang ditengahnya ada ruang yang kosong berbentuk lingkaran.
"Turun dulu, Na. Kita disini aja."
Aruna nenuruni motor itu dengan bantuan tangan Rahmat yang menjadi tumpuan, ditaman itu cukup ramai. Kebanyakan anak-anak yang sepertinya anak-anak sekitar sini.
"Kamu cari tempat duduk dulu, aku mau beli jajan disana." Rahmat menunjuk warung yang berada diseberang jalan.
"Oke,"
"Mau dibeliin apa?"
"Apa aja." Rahmat mengangguk paham, diapun berbalik badan setelah mengambil kunci motor dan memastikan Aruna sudah memasukki area taman.
*.*.*
"Terus sekarang kamu mau gimana?"
Aruna sudah menceritakan semuanya, tak lupa kejadian Kinan tadi.
Aruna menarik nafas dan membuangnya pelan-pelan. Lalu kepalanya merunduk, dia juga binggung harus bagaimana.
"Kamu mau dengerin apa dari aku? Saran?"
"Pendapat?"
Rahmat mengangguk dan membahasi keronngkongannya sebelum memberikan pendapatnya. "Untuk soalan kamu mau sekolah diluar, itu keputusan kamu. Aku ngga akan larang, selagi itu kemauan kamu sendiri. Urusan hubungan itu bisa dicari caranya setelah semua masalah kamu selesai." Rahmat memberikan jeda, berpikir bagaimana dengan pendapatnya tentang keluarga.
"Untuk Ayah Bunda, kamu harus lebih bisa membedakan. Udah harus bisa membiasakan diri... Semua udah terjadi, ngga perlu sedih apalagi menyesali. Toh, kalo harus tetap sama-sama pasti masalahnya lebih dari ini." Aruna mendengarkan dengan baik.
"Untuk Kinan?" Rahmat binggung harus berkomentar apa. Pasalnya dia juga tahu bagaimana hubungan Aruna dengan Kinan. Tidak baik juga tidak durhaka. "Selagi bisa jadi adik yang baik, lakunan itu." Hanya itu, Rahmat tidak tahu harus bagaimana.
Aruna tersenyum, dia terhibur. "Gimana? Udah lega?" Tanya Rahmat melihat raut wajah kekasihnya sedikit membaik.
Aruna mengangguk, "Iya."
Rahmat mengadahkan pandangnya menelusuri taman ini, sementara tanganya sibuk memberikan sebungkus roti kepada gadis disampingnya. "Tau ngga, Na?"
"Hmm??"
"Sebenarnya, aku tuh seneng banget hari ini." Aruna mengoleh ketika mulutnys hendak diisi roti. "Kamu manggil aku pas kamu sedih."
Kepala Aruna mengangguk, "Hmm... Gue udah janji begitu sama lo."
"Haha, tumben diinget janjinya." Aruna tidak membalas celogos Rahmat tadi. "Aku jadi ingat sesuatu..."
"Tentang apa?"
"Telepaty, Insting. Aku kaya punya radar buat mendeteksi kalo kamu itu butuh aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Melancholia
FanfictionMenyatukan dua kepala dalam satu hubungan adalah hal yang sulit untuk yang pertama kalinya merasakan. Sering bertengkar padahal saling merindu, sesulit itu untuk mengatakan perasaan untuk dua kepala ini. Pada akhirnya hal itu terlalu sering terjadi...