Melancholia 31

20 3 3
                                    

31 | Tutur Batin...

"Menduga-duga sebuah penantian hanya membuat kita berharap."

~o0o~




Hari sudah berlalu, lebih tepatnya sudah dua minggu yang lalu Aruna selesai dengan ujian masuk universitas berbasis komputer itu berlalu.



Aruna mendapatkan kabar bahwa hari ini Anadia ingin USG. Rahmat sedang diluar negeri untuk pertandingan beregu.


"Kita dapat nomor antrian berapa?" Tanya Aruna saat baru saja sampai didepan deretan kursi yang diisi oleh para ibu-ibu berbadan dua.


Sebenarnya Anadia yang meminta tapi melalui Rahmat. Anadia terlalu kaku dan malu jika harus meminta langsung, dia masih takut dengan Aruna yang dia tahu adalah seorang yang dingin dan jutek.



"39. Duduklah."



"Maaf aku terlambat, gojeknya engga dapet-dapet soalnya." Aruna meletakkan tas serempangnya didepan pangkuannya.



"Iyaa, aku juga baru kok disini."



Aruna membalasnya dengan senyum dan akhirnya keduanya kembali saling diam. Anadia binggung harus bahas apa, takut salah bicara. Sementara Aruna juga binggung harus menanyakan apalagi agar gadis disebelahnya ini mau bercerita.


Terdengar panggilan sudah memasukki nomor 30, tandanya sebentar lagi giliran mereka.


"Apa ibu sudah tahu?" Sedetik kemudian Aruna menyesal telah menanyakan itu. "Ah, maaf. Tidak perlu dijawab. Aku hanya ingin mengajakmu bicara."


Anadia tersenyum, "Tidak, tidak masalah. Rahmat sering bilang jika kau orang yang care walaupun tidak terlihat." Anadia memberikan jeda, "Ya, sudah kuberitahu. Seperti reaksi pada umumnya saat orangtua mengetahui itu. Ditampar, dimaki, disumpahi, diteriaki dan diusir, semua ku turuti. Kecuali menggugurkannya."


Aruna diam. Anadia menatap Aruna, "Aku sudah berjanji untuk tidak mengugurkannya padamu, maukah kau berjanji menemaniku?"



Aruna seperti terhipnotis, Anadia sejak kandungannya berumur 1 bulan berubah 360°. Dimana kecantiknya bertambah, tubuhnya yang mulai kurus karena ngidam yang mengharuskan dia untuk tidak ingin makan.



Terlalu jahat jika harus membiarkan gadis seumurannya harus melewatinya sendirian.



"Berjanjilah untuk tidak memberikan anak ini pada siapapun, ayo kita rawat. Bersamaku setelah dia lahir."



Anadia mengangguk.



"Nomor 39? Silakan masuk."


Aruna bangun terlebih dahulu, "Hati-hati." Anadia dibimbingnya. "Kau terlaluan, aku bisa sendiri."


"Pelan-pelan saja."


Mereka memasukki ruangan bercat putih, diruangan yang cukup besar. Ada sofa empuk serta meja kacanya, lalu kulkas kecil, meja kerja, bed, dan alat-alat medis yang mereka sendiri tidak tahu apa itu.



"Silakan, duduklah..." Dokter muda itu mempersilahkan dua gadis itu duduk. "Yang bernama Anadia diantara kalian berdua siapa?"


Aruna menunjuk Anadia sementara Anadia menganggkat tangan. "Saya, dok."


"Baik, ini baru sekali cekup?"


"Ya, kandungan saya baru berusia 1 bulan, dok."


Melancholia Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang