29 | Hari yang Absurd...
"Aku benci bermimpi, karena dengan bermimpi aku menjadi tahu apa yang perlu kukhawatirkan dan yang harus kulupakan."
~o0o~
Hembusan nafas kasar terdengar saat Aruna membuang nafasnya. Aruna berusaha menetralkan pikirannya atas pernyataan Bunda barusan.
"Bunda udah yakin?" Aruna memastikan keputasan besar Bunda.
Bunda menganggukkan kepala, "Bunda yakin, tapi Bunda harus izin dulu sama anak-anak Bunda."
Aruna merunduk, dia binggung. Apa yang harus Aruna lakukan, disatu sisi Aruna ingin Bunda baik-baik saja, sudah cukup pernikahan beda agama ini berjalan hampir 30 tahun ini.
"Nana tahu ini bukan perkara mudah, tapi nana yakin Bunda pasti udah mikirin segala resikonya nanti..." Aruna memberikan jeda, meyakinkan dirinya atas keputusan ini. "Bunda pasti lelah sama semua yang terjadi belakangan ini. Nana mau Bunda Bebas..."
Ya, Bohong jika 5 tahun terakhir ini keluarga Aruna baik-baik saja. Ayah yang sudah terlilit hutang hingga kabar terakhir ini, perusahan travel dan akomodasi milik keluarganya gulungtikar.
Bunda bertahan, tapi cara ayah yang langsung menghilang begitu saja tanpa tanggung jawab yang membuat keputusan yang sebenarnya sudah ada sejak lama menjadi yakin sekarang. Kinan sudah diceritakan, dan sekarang Aruna.
Kepergiaan Bunda, Cikal dan Kinan ke Jogja kemarin itu tidak lain untuk mengurus keperluan perpindahan. Bunda berencana menjual rumah keluarga mereka untuk menutupi keperluan keluarga mereka setelah perceraian itu.
"Ayah... Ayah sudah tahu? Bunda sudah beritahu ayah tentang kabar ini??"
"Sudah,"
"Lalu apa jawaban ayah?"
"Katanya lakukan semau Bunda saja."
Wajah Aruna meredup, kenyataan tentang perceraian ini benar-benar akan terjadi. Aruna sudah tahu ini akan terjadi, sejak dia SMP semua berantakan.
"Aruna..." Aruna bersuara setelah diam hampir 1 jam. Tanganya membawa telapak Bunda ke pipinya. "Bohong kalo Nana ngga hancur, tapi yang paling penting itu Bunda. Nana yakin... Semua udah jadi pertimbangan Bunda, Hutang Ayah udah cukup membebani Bunda, kak Kinan yang mau nikah... Nana bahkan berencana mau cuti kuliah,"
Bunda melepaskan tangannya yang ada dipipi Aruna, aura wajah Bunda langsung berubah drastis. "Bunda ngga izinin kamu cuti, ngga ada yang boleh cuti."
Arunapun diam, dia tidak akan melawan. Tak bisa melawan.
*.*.*.*
"Bagaimana? Kau setuju?"
Aruna menatap lembaran kertas itu, kerja? Aruna berusan saja ditawari pekerjaan paruhwaktu oleh Kinan. Tidak-tidak, bukan Kinan tetapi ketua redaksi, Kinan AkbarRefaldi.
Aruna tak bisa menahan tawanya karena melihat Kinan yang berbicara formal dengannya. Itu--- Benar-benar menggelikan baginya.
"Hahahahahaha, Lu kaya Badut ngomongnya begituu..." Aruna menepuk-nepuk pahanya melampiaskan rasa menggelikan dari dalam dirinya ketika Kinan didepannya begitu lucu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melancholia
FanfictionMenyatukan dua kepala dalam satu hubungan adalah hal yang sulit untuk yang pertama kalinya merasakan. Sering bertengkar padahal saling merindu, sesulit itu untuk mengatakan perasaan untuk dua kepala ini. Pada akhirnya hal itu terlalu sering terjadi...