33 | She Would Never Know
"I'll do my best for everyone not because i wanna be their hero but i just want they know if kindness is more important than anything in this world. I live my life without regret about my past, im here now because what i did and i proud to be me."
~o0o~
Hari ini adalah hari dimana Rahmat pulang. Untuk pertama kalinya Rahmat meminta Aruna ikut menjemput.
Seperti sekarang, posisi Aruna yang tengah mengikat tali sepatu dengan menjepitkan handphone antara bahu serta telinga. Aruna terburu-buru karena telat bangun pagi.
"Naanaaa,"
"Apa si, maattt??"
"Kamu dimana sih?! Lama banget!"
"Sabar yaRobbii, ini lagi pake sepatu."
"Engga usah, kebandara aja pake sepatu. Pake sendal jepit aja. Buruan!"
Mendengar saran gila Rahmat barusan hanya ditanggapi Aruna dengan membuat nafas malas dengan bibir yang mengecut.
"Iya-iyaa, sabar! Ini naik mobil kok!"
Sedikit cerita, ini sudah 2 minggu pengurusan perceraian Bunda dan Ayahnya. Harta-harta yang bagian untuk Bunda hampir 80% didedikasikan untuk menutupi hutang Ayah yang dimana usaha itu atas nama Bunda.
Yang tertinggal hanya Rumah yang sekarang ditinggali mereka, mobil Bunda, Motor Kinan, dan Ruko yang ada dijogja.
Semua kekayaan Ayahnya lenyap. Aruna bahkan tidak habis pikir dengan hutang yang disebabkan Ayahnya ini, Ayahnya terlibat hutang piutang padahal Ayah setiap hari tidak memakai barang mewah, sederhana tapi rahasia ini terbongkar dengan hutang yang banyaknya sebanyak 24Miliyar.
Aruna menaiki mobil yang sopirnya adalah Saut.
Saut ditelepon Rahmat. Aruna sendiri binggung bagaimana bisa keduanya seperti orang yang akrab padahal Aruna baru menyebut nama Saut saja sudah ngomel-ngomel sana sini.
Rahmat kembali mengomeli Aruna, "Iyaa, ini udah mau jalan. Sabar mamatkuu..." Begitu Aruna selesai bicara Rahmat langsung memutuskan panggilan sepihak.
Aruna mengangga, Rahmat aneh sekali. Baru pertamakali dia disibukkan dengan kegiataan bangun pagi-pagi menjemput rombongan. Rahmat sudah menerornya sejak pukul 5 kurang 45 menit.
Terlalu pagibuta untuk jam tidur Aruna yang sekarang sudah tidak bersekolah ini.
Kelulusan akan diumumkan minggu depan. Nilai atau hasil ujian seleksi perguruan tinggi masih 3 minggu lagi. Aruna menjadi pengangguran tingkat dewa sekarang, dia seperti tarzan kaget akan libur begitu panjang ini. Dia bahkan bangun pukul 10 pagi.
Dan sekarang Rahmat malah menganggunya, waktu masih pukul 6 lewat 12 menit tapi Aruna sudah harus berangkat menjemputnya.
"Jalan, Sa... Nih kucing rombeng bawel banget!"
Saut tersenyum kecut, dia menunjuk tali pengaman, Aruna menuruti dengan bersiap memakai tapi tak ujung bisa dipasangkan. Saut pun bergerak secepat kilat untuk membantu Aruna memasangkan sabuk pengaman dengan benar, juga tak lupa membenarkan posisi sabuk itu.
Aruna tidak pusing dengan tindakan Saut, dia sudah dipusingkan dengan ocehan menyebalkan Rahmat. Saut selesai dengan bantuannya kepada Aruna hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar semua ocehan Rahmat tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Melancholia
FanfictionMenyatukan dua kepala dalam satu hubungan adalah hal yang sulit untuk yang pertama kalinya merasakan. Sering bertengkar padahal saling merindu, sesulit itu untuk mengatakan perasaan untuk dua kepala ini. Pada akhirnya hal itu terlalu sering terjadi...