1. Grey Hoodie

3.9K 442 21
                                    

Bukan hidup namanya jika semua berjalan sesuai rencana. Bukan hidup jika realita mampu mewujudkan segala ekspektasi. Bukan hidup jika kita tidak berdarah-darah. Bukan hidup jika kita tidak merasa lelah, kesal, atau kecewa. Hanya saja, mengapa hidup selalu begitu kejam?

Berulang kali Kania mengembuskan napas kasar untuk melepaskan lelah yang menggerogoti tubuhnya. Sudah sekitar 1 jam dia mendorong sepeda hitam kesayangannya. Selain ban yang pecah, rantai yang putus, Kania juga melupakan dompet di kamarnya. Sempurna sekali, bukan? Suhu badannya sudah sangat tinggi, tenggorokannya juga sudah sangat kering, ditambah perut yang sedari tadi berteriak, minta diisi. Jangan tanya sebesar apa keinginan Kania untuk bisa sampai di rumah.

"Kenapa didorong?"

Sontak saja Kania menoleh saat mendengar suara itu. Dia mengangkat sedikit sudut bibirnya. "Bannya pecah, rantainya putus, Nek," jawab Kania.

"Lho?" Nenek Sima-neneknya Kania-mengernyitkan kening. "Terus, kenapa tidak ke bengkel aja?"

"Dompet aku ketinggalan."

Sang nenek geleng-geleng kepala. Lalu, beliau menyejajarkan langkah dengan gadis 17 tahun itu. "Lagian, kenapa kamu bisa bangun kesiangan? Begadang, ya?"

"Iya, lagi banyak tugas," jawab Kania. Ia pun melanjutkan langkahnya.

Tugas hanya alasan dusta supaya obrolan itu cepat selesai. Mana mungkin Kania berkata bahwa dia merindukan papanya. Kania tak suka melihat garis kekhawatiran di wajah senja itu. Dia tak senang mendengar nada bersalah di suara halus neneknya. Lagipula, sebentar lagi rindunya akan terbayarkan. Itupun bila sang papa tidak ingkar janji.

"Kania."

Gadis itu memalingkan pandangan dari jalan aspal, menoleh pada neneknya.

"Bagaimana kalau kamu tinggal sama papa kamu?"

Saat itu juga, langkah Kania terhenti. Untuk beberapa saat, mata dan wajah datarnya sempat menunjukkan keterkejutan. Namun, hanya beberapa detik. Dia langsung mengendalikan ekspresinya.

"Emang ... bisa?" tanyanya dengan ragu.

"Mungkin peluangnya sedikit, tapi tidak ada salahnya nenek bicara sama papa kamu. Siapa tahu dia mau mempertimbangkan. Lagipula, nenek bisa lihat kalau dia sangat menyayangi kamu. Pasti dia juga ingin tinggal satu rumah sama kamu."

Kania masih bergeming dan menatap neneknya penuh keraguan. Jauh di lubuk hatinya, dia menginginkan hal itu. Meski berusaha menerima kenyataan, tetapi Kania sering berandai bisa tinggal satu atap dengan papanya. Hanya saja, pertanyaannya selalu sama. Memangnya bisa?

"Kamu tenang aja, biar nenek yang bicara. Siapa tahu malam ini juga kamu bisa ikut papa kamu."

"Malam ini?"

Nenek Sima mengangguk. "Iya, malam ini. Papa kamu ada di rumah."

Saat itu juga, gurat lelah dan bingung Kania lenyap seketika. Dan yang di bibirnya itu adalah senyum lebar pertama untuk hari ini. Seluruh tubuhnya mendadak bertenaga. Ia melangkah penuh percaya diri sembari lanjut mendorong sepeda. Matanya semakin berbinar kala melihat Audi hitam terparkir di depan rumah.

"Hati-hati, Kania," tegur sang nenek saat melihat cucunya berlari. Namun, tidak bisa dipungkiri, beliau bahagia jika sudah melihat Kania bertingkah seperti itu.

"Papa!" seru Kania sambil memeluk lelaki yang sedang bicara dengan kakeknya.

Sang papa menyambut hangat pelukan Kania. Ia mengusap punggung panas Kania dengan penuh kelembutan. Berulang kali pula mencium rambut Kania yang sudah sangat lepek. Lalu, ia memberikan senyum hangat saat bersitatap dengan putrinya itu.

Caliginous [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang