Beberapa menit sebelum bel pertanda masuk berbunyi, Jarvis sudah meninggalkan kantin. Ia berjalan keluar dengan mata yang memindai satu per satu wajah siswa yang ada di sana. Tak jarang, dia juga tersenyum saat ada yang menyapanya. Namun, sayang, tidak ada sosok yang ia cari.
Meski sudah setengah jam berlalu, pikiran Jarvis masih tertuju pada gadis bernama Kania itu. Gadis yang memiliki tatapan datar tetapi menusuk, nada bicara yang pelan tetapi menohok. Dan ada sesuatu yang perlu Jarvis pastikan.
"Udah, jangan dipikirin, Jar," ucap Tian sembari menggandeng bahu Jarvis. Tetap memaksakan meski tingginya tidak seberapa. "Barangkali itu cewek caper sama lo, cuma pakai cara beda dari yang lain. Tapi, menurut gue, justru yang begitu yang kelihatan kampungan."
"Tetep aja, gue perlu memastikan kalau kakinya gak kenapa-kenapa," jawab Jarvis.
"Kayaknya gak kenapa-kenapa, sih. Soalnya, kan, wajahnya datar banget, gak ada ekspresi kesakitan sama sekali."
Jarvis membuang napas kasar. "Justru itu yang bikin gue khawatir, wajahnya terlalu datar. Padahal jelas-jelas minuman gue masih panas banget."
Tian melepaskan rangkulannya. Dia mengangguk-angguk. "Iya juga, sih. Minuman lo panas, tapi dia gak kesakitan. Emang agak aneh," cetusnya dengan wajah yang sangat serius. Lalu, Tian menggeleng. "Mungkin emang keahlian dia aja buat atur ekspresi. Kayaknya, dia anak teater."
Kening Jarvis lantas berkerut. "Atas dasar apa lo menyimpulkan dia anak teater?"
"Gue pernah lihat mereka latihan gitu. Dan salah satu latihannya itu mengontrol mimik wajah. Ada yang berdiri di lapangan tanpa sepatu tapi harus senyum cantik. Ada yang sambil bawa ember isi air tapi harus ketawa. Ada juga yang digelitikin tapi harus nangis."
Lagi, Jarvis merenung.
Memang, latihan anggota teater yang semacam itu pernah didengarnya. Namun, dia ragu jika Kania adalah anggota teater. Karena selama 4 kali ikut pentas seni di SMA Pelita Bangsa, wajah datar Kania tidak pernah ada di panggung, tampil sebagai anggota teater.
Tragedi siang ini adalah kejadian pertama yang membuat Jarvis menyadari kehadiran Kania. Mungkin, sebelum-sebelumnya mereka pernah berpapasan, tetapi Jarvis tidak ingat karena tidak ada kejadian berkesan seperti siang ini.
"Itu cewek tadi bilang apa, sih? Lo bisa bodohi mereka semua. Tapi enggak dengan gue. Gitu bukan, sih?" Tian kembali bersuara saat mereka sudah tiba di kelas. "Maksudnya apa dia ngomong kayak gitu, coba? Jelas-jelas Deswita yang senggol gelasnya. Pakai tuduh lo yang enggak-enggak segala."
"Dia enggak tahu kejadian lengkapnya, Yan. Jadi pantes aja kalau sampe salah paham," timpal Jarvis.
"Tapi, enggak bisa begitu, lah, Jar."
Tiba-tiba, teman yang lain ikut bergabung. Mereka duduk memutar meja Jarvis dan Tian. Tampak sekali ada garis kekesalan di wajah mereka.
"Kalau salah paham sama orang lain emang wajar. Tapi, ini sama lo, lho. Siswa paling baik, paling sopan, paling pintar, paling berprestasi, paling peduli sama orang lain. Masa iya dia bisa salah paham tentang lo?" cetus Caca dengan menggebu-gebu.
"Itu cewek gak kenal lo atau gimana, sih?" sambung Irfan dengan mata yang mencuat setengah.
"Paling juga caper." Yang lain tidak mau kalah.
"Bener banget. Palingan juga itu cewek caper. Satu tipe sama Deswita, lah. Cuma pakai cara yang beda. Pengennya kelihatan elegan, tahunya lebih kampungan." Caca menimpali lagi.
Lantas terdengar tawa di sana. Semua orang membela Jarvis tanpa ada keraguan sedikit pun. Karena selama 2 tahun bersama, mereka tidak pernah melihat Jarvis menyakiti siapa pun. Dia adalah laki-laki langka dengan hati paling suci yang mereka semua kenal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Caliginous [Tamat]
General FictionJangan terlalu percaya dengan apa yang matamu tunjukkan tentang dunia dan isinya. Dunia selalu penuh tipu daya dan manusia selalu berkamuflase. Begitu pula tentang Jarvis dan Kania. Mereka memiliki banyak rahasia yang ditutupi dengan kepura-puraan. ...