Sebelum berlalu, Jarvis memandang wajah damai Kania dengan senyum lebar. Setelah puas, barulah Jarvis menutup pintu dengan penuh hati-hati, memastikan tidak ada suara yang bisa menganggu tidur Kania.
"Udah tidur?"
Jarvis mengangguk. "Langsung nyenyak, Kek."
Kakek Hasbi mengembuskan napas lega. "Syukurlah, sudah lama Kania tidak tidur nyenyak. Semenjak kepergian Nak Jarvis, dia selalu tidur larut. Gak jarang, kakek lihat Kania cuma melamun di kamarnya."
"Maafkan saya karena sudah membuat cucu Kakek menderita," sesal Jarvis.
"Tidak apa Nak Jarvis, mungkin memang jalannya harus begini. Nak Jarvis kembali dengan selamat saja, kami sudah sangat bersyukur. Dan kami sangat berterima kasih karena Nak Jarvis sudah mengembalikan kebahagiaan Kania."
"Kakek gak perlu berterima kasih. Saya sayang Kania, makanya saya akan berusaha untuk terus membuat dia bahagia."
Setelah berbincang ringan, keduanya segera melangkah menuju ruang tamu. Di sana, sudah ada Nenek Sima, Pak Mehram, dan ... Deswita. Meskipun sudah 2 hari mengetahui Jarvis bangkit dari kematiannya, Deswita masih saja sering memperhatikan pemuda itu dari atas hingga bawah. Sedangkan Jarvis ... seperti biasa, tidak tertarik padanya.
Jarvis sudah tahu mengenai persahabatan Kania dan Deswita. Memang mustahil, tetapi akhirnya dia percaya setelah melihat interaksi keduanya selama di rumah sakit. Tidak ada lagi Deswita yang gemar menyindir atau Kania yang selalu menatap tajam. Mereka akur, layaknya sahabat pada umumnya. Bahkan, mereka mirip ... adik dan kakak sungguhan.
Tentu, Jarvis menyanggupi permintaan Kania untuk merahasiakan fakta bahwa mereka memang bersaudara, memiliki papa yang sama.
"Saya memperhatikan kamu selama dua hari ini," ucap Pak Mehram, bergabung dengan Jarvis di teras belakang. "Dan dari yang saya lihat, kamu sangat menyayangi anak saya, Kania."
Jarvis melirik pria paruh baya itu dari sudut matanya. "Baik dulu atau sekarang, saya memang selalu menyayangi Kania. Hanya saja, kali ini saya sudah tidak ragu lagi mengenai perasaan saya. Bahkan, saya gak akan malu untuk memperlihatkannya di depan orang lain. Termasuk Anda, sebagai papa Kania."
"Saya sangat berterima kasih atas ketulusan kamu." Pak Mehram memasukkan kedua tangannya ke saku celana. Pandangannya tertuju pada langit biru Jakarta. "Saya tidak pernah bermaksud membedakan Kania dan Deswita. Rasa saya sayang untuk mereka berdua, termasuk putra pertama saya, itu sama. Dan saya juga tidak pernah menganggap Kania sebagai kesalahan."
Kini, Jarvis benar-benar melirik Pak Mehram. Ia memusatkan semua perhatiannya pada salah satu pengusaha paling sukses di Indonesia itu.
"Saya tidak pernah kasih tahu siapa pun tentang ini." Pak Mehram menoleh, bertemu pandang dengan Jarvis. Sorot matanya begitu serius." Jauh sebelum Kania lahir, hubungan saya dan mamanya diketahui oleh mertua saya. Dan tentu saja, mereka marah besar tahu putri mereka dikhianati."
Jarvis masih bungkam, setia mendengarkan cerita Pak Mehram.
"Saya tidak pernah bisa menolak permintaan Deswita supaya bisa mengutamakan Kania. Karena jika saya melakukannya, orang tua istri saya tidak akan tinggal diam. Mereka selalu melayangkan ancaman akan mengusik Kania jika saya berani menomorduakan keluarga saya. Saya mengutamakan mereka supaya bisa melindungi Kania dari mertua saya, bukan karena Kania tidak berarti dalam hidup saya."
Jujur saja, Jarvis tidak pernah menghormati sosok Mehram Jusuf sebagai seorang papa. Dia tahu pasti sebanyak apa pengorbanan Kania untuk kebahagiaan Deswita. Namun, saat pengusaha itu bicara barusan, sorot matanya begitu serius dan penuh sesal. Dan Jarvis tahu, beliau tidak sedang berbohong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Caliginous [Tamat]
Fiksi UmumJangan terlalu percaya dengan apa yang matamu tunjukkan tentang dunia dan isinya. Dunia selalu penuh tipu daya dan manusia selalu berkamuflase. Begitu pula tentang Jarvis dan Kania. Mereka memiliki banyak rahasia yang ditutupi dengan kepura-puraan. ...