"Lo ranking berapa?"
Hampir saja Kania mengalami serangan jantung. Dia mendelik pada Deswita yang sudah memamerkan gigi putihnya. Baru saja ia keluar dari kelas, sudah disambut suara nyaring gadis heboh satu ini. Untung saja, jantung kakek nenek Kania sehat, sehingga kehebohan Deswita tidak menimbulkan masalah yang lebih serius.
"Dua puluh dua," jawab Kania, dengan wajah datarnya yang khas.
"Semuanya berapa siswa?"
"Dua puluh lima."
Walaupun sangat kesal dengan sikap santai Kania, Deswita tetap tersenyum. Di sana masih ada Nenek Sima dan Kakek Hasbi, Deswita tidak boleh menoyor kepala Kania di depan keluarganya.
"Seenggaknya, lo enggak yang terakhir, ya, Ni? Semoga semester depan lo bisa lebih baik lagi." Kemudian, pandangan Deswita beralih ke kakek nenek Kania. "Hi, Nek, Kek. Kita ketemu lagi." Ia cengengesan.
"Iya, Deswita," balas Nenek Sima.
"Kakek duluan, ya? Kalau kalian masih mau ngobrol juga gak apa-apa. Kakek tunggu di mobil saja." Tanpa menunggu jawaban, Kakek Hasbi langsung berlenggang.
Nenek Sima menepuk bahu Kania. "Nenek juga tunggu di mobil aja, ya? Rapor kamu biar nenek yang bawa."
Deswita hanya bisa mengangguk sopan saat pasangan baya itu melewati tubuhnya. Dia yakin, Nenek Sima dan Kakek Hasbi melihatnya tersenyum. Namun, sama sekali tidak ada niatan untuk membalas dari mereka berdua.
Entah hanya perasaan Deswita atau memang begitu kenyataannya, kakek dan nenek Kania seperti tidak menyukainya. Sikap mereka berdua tidak sehangat saat bertemu Bagas, Tian, Caca, dan Irfan. Kalaupun keduanya bersikap baik pada Deswita, jelas sekali itu dipaksakan.
"Lo mau langsung pulang?" Kania sengaja membuyarkan lamunan Deswita. Dia paham betul apa yang dipikirkan gadis itu.
"Rapor gue belum diambil. Nyokap sama bokap gue masih di jalan. Katanya macet, jadi agak telat." Deswita memasang wajah sebal. "Coba aja kalau orang tua gue kayak kakek nenek lo, yang antusias buat ambil rapor biarpun nilainya ancur, gue pasti seneng banget."
"Gak udah sirik sama kehidupan orang lain. Syukuri aja apa yang lo punya," tegur Kania.
"Abisnya, gue kesel. Tiap pembagian rapor, pasti kayak gini. Gue harus keliling sekolah dulu, sapa sana-sini, baru orang tua dateng. Beda sama kakek nenek lo yang dateng lebih dulu dari jam yang ada di undangan." Deswita merangkul tangan Kania sambil tersenyum lebar. "Kita tukar posisi, yuk?"
"Gue gak punya orang tua."
Senyum Deswita lenyap dalam hitungan detik. "Gak jadi, deh."
"Deswita!"
Kedua remaja itu lantas menoleh ke sumber suara. Beberapa meter dari tempat mereka berdiri, ada papa mama Deswita yang memperhatikan keduanya. Papa Deswita-Pak Mehram-tampak tersenyum hangat pada Kania. Beda dengan Bu Hanin yang tampak tak suka.
"Papa, Mama!" Dengan riang, Deswita berlari menuju orang tuanya. "Kenapa lama banget, sih? Tinggal rapor aku yang belum diambil. Temen-temen sekelas aku udah pulang dari tadi."
Raut wajah Bu Hanin langsung berubah. Beliau tersenyum untuk menyambut anaknya. "Maaf, ya, Sayang. Tadi mama harus nyiapin keperluan fieldtrip Kak Nino dulu. Belum lagi di jalannya macet."
"Tiap semester, pasti ada aja alesannya." Deswita mendengkus. Lalu, dia berbalik dan melambaikan tangannya. "Ni, sini! Kenalan dulu sama mama papa gue."
Bukannya menuruti perkataan Deswita, Kania memilih diam. Tentu saja itu bukan hal yang bagus. Kania yakin, mama Deswita lebih mengenalnya sebagai anak selingkuhan suaminya dibandingkan sahabat anaknya. Ia baru melangkah setelah Deswita sendiri yang menariknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Caliginous [Tamat]
General FictionJangan terlalu percaya dengan apa yang matamu tunjukkan tentang dunia dan isinya. Dunia selalu penuh tipu daya dan manusia selalu berkamuflase. Begitu pula tentang Jarvis dan Kania. Mereka memiliki banyak rahasia yang ditutupi dengan kepura-puraan. ...