18. Change

1.6K 303 99
                                    

Dibandingkan senang, Kania merasa khawatir dengan sejumlah perubahan Jarvis. Biarpun perubahan itu menjurus ke hal positif, tetapi Kania merasa ini semua salah.

Pertama, Jarvis bersikeras menginap di rumah sakit untuk menunggu Kania. Kedua, dia sudah mempersiapkan sarapan sebelum berangkat sekolah. Dan sekarang, dia kembali ke rumah sakit dengan sejumlah buah-buahan. Jangan lupakan keterangan bahwa jeruk, alpukat, dan semangka baik dikonsumsi saat demam. Dan sekarang, lelaki itu sedang duduk di samping Kania sembari mengupas jeruk.

“Jar?”

“Hm?”

“Lo gak sakit, kan?”

Pandangan lelaki itu beralih seketika. Dia menatap Kania beberapa saat, lalu menyimpan jeruk di tangannya ke piring yang ada di atas nakas. Jarvis mengembuskan napas kasar dan membanting punggungnya ke sandaran kursi. Dia menatap Kania penuh frustrasi.

“Itu yang jadi pertanyaan gue selama ini. Gue gak sakit, kan?” Jarvis malah balik bertanya. “Bukan cuma lo, Ni, gue juga bingung sama perubahan gue ini.”

Kening Kania berkerut. Jawaban macam apa itu?

“Gue gelisah saat bareng lo. Tapi, lebih gelisah saat jauh. Gue pengen lukai lo, tapi gak tega lihat wajah pucat lo ini. Gue ngerasa sehat, tapi gak ngerasa normal,” oceh Jarvis. “Gue kenapa, ya?”

Kania memutar bola matanya malas. “Ditanya, malah balik tanya. Seorang Jarvis Althaf bisa bego juga, ya?”

Jarvis mencondongkan tubuhnya ke arah Kania, membuat pandangan mereka saling menarik. “Gimana kalau ternyata gue sakit parah? Gimana kalau gue mati?”

“Jangan, lah!” sewot Kania, setengah berteriak.

Senyum miring Jarvis langsung terbit. Dia kembali bersandar pada kursi. Tangannya dilipat di depan dada, alis kanannya diangkat tinggi-tinggi. “Kenapa jangan? Lo gak bisa hidup tanpa gue, ya?”

“Dih, pede banget! Lo gak boleh mati karena masih banyak dosa. Lo harus tobat dulu, baru ketemu sama malaikat maut.” Kania membuang wajahnya. Dia berdeham pelan dan berucap, “Dan, yah, gue akui. Emang bakal agak sepi hidup gue kalau gak ada orang gila kayak lo.”

“Gila, tapi berkharisma. Anjaaaay! Cowok lo keren juga, ya? Beruntung banget lo jadi pacar gue.”

Baru saja Kania hendak meninpali pujian Jarvis—untuk dirinya sendiri—tetapi harus tertahan karena pintu ruang rawatnya terbuka. Keduanya langsung bersikap normal saat Nenek Sima masuk bersama Bagas dan orang tuanya. Jarvis langsung membawa kembali jeruk yang tadi dan Kania menonton berita di televisi.

“Gimana keadaan kamu, Ni?” tanya ibu Bagas begitu sampai di samping ranjang. Seperti biasa, beliau selalu menatap Kania penuh kelembutan.

“Udah lebih baik, Tan,” jawab Kania sembari tersenyum tipis.

“Tante khawatir banget saat denger kamu kritis. Pikiran tante udah ke mana-mana. Tapi, syukurlah kalau sekarang keadaan kamu lebih baik.” Ibu Bagas mengusap bahu Kania dengan lembut. Lalu, beliau tersenyum penuh arti. “Apalagi ditemenin sama Mas Pacar, pasti akan lebih cepat sembuh.”

“Ya?” Kania mengerjap.

“Tante udah denger dari nenek kamu. Ternyata, laki-laki yang sering ke rumah itu pacar, tante kira cuma temen biasa,” tambahnya.

“Iya, Tan.” Kania hanya bisa tersenyum tipis menanggapi ucapan ibunya Bagas. Kemudian, pandangannya beralih pada sang sahabat. “Lo bawa apa?”

“Buah.” Berbeda dengan sang ibu, wajah Bagas terlihat kecut. “Tapi, kayaknya lo udah gak butuh. Kan, udah dibawain sama Jarvis. Sama pacar lo.”

Caliginous [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang