“Jarvis udah bilang, jangan pernah sentuh Kania! Dia gak salah apa-apa, Yah!”
Sebuah teriakan keras mengetuk pintu alam bawah sadar Kania. Dia berusaha membuka mata, tetapi sangat sulit. Ia hanya mampu mendengar perkataan penuh amarah Jarvis.
“Jarvis yang ingin berubah, bukan Kania! Jarvis yang mau berhenti menyakiti orang-orang tidak bersalah, bukan Kania yang tidak bisa menerima Jarvis apa adanya!”
Setelah berusaha keras, Akhirnya Kania mampu membuka mata. Ia mengerjap berulang kali, mengatur kesiapan pupil untuk menerima cahaya. Indra penciumannya juga mulai bekerja. Aroma mint yang kuat menyambut Kania ke kenyataan.
“Oke, Jarvis akan temui Ayah. Kita selesaikan semuanya hari ini juga,” tukas Jarvis. Suaranya berubah menjadi rendah. “Urusan Ayah itu sama Jarvis, bukan sama Kania. Jadi, jangan pernah sentuh dia lagi. Seujung kuku Ayah bikin dia terluka, jangan harap Jarvis akan menganggap ayah sebagai ayah kandung Jarvis. Jika itu terjadi ... you're not my dad anymore. You're my enemy.”
Jarvis mengakhiri panggilan secara sepihak, lalu melempar ponselnya ke sofa dekat jendela. Pandangannya lurus ke bangunan Jakarta yang amat padat.
Ya, dia baru saja bicara dengan sang ayah. Atau, lebih tepatnya, ia baru saja meluapkan amarah atas apa yang menimpa Kania. Ia sangat yakin, Kania hampir tidak tertolong karena ulah ayahnya. Laki-laki yang berpakaian serba hitam di kantin adalah ayahnya. Dan di saat ubun-ubun Jarvis hampir meledak, sang ayah masih bisa tertawa gembira di seberang sana. Memang kurang ajar!
“Jar ....”
Saat itu juga Jarvis menoleh. Dia langsung melangkah dan duduk di ujung ranjang saat melihat mata Kania akhirnya terbuka. Dengan penuh kelembutan, dia menyelipkan rambut Kania ke balik daun telinga.
“Hai,” sapanya, sambil tersenyum. Dia segera menyambar segelas air mineral di atas nakas. “Sini, minum dulu.”
Kania menurut, segera menyesap air itu dengan bantuan Jarvis. Setelah selesai dia bersandar ke kepala ranjang. Kania bisa melihat tangannya dihias jarum infus. “Ini ... kamar lo?”
Jarvis mengangguk. “Iya. Gue gak tenang kalau lo dirawat di rumah sakit. Jadi, di sini aja. Kebetulan penghuni unit sebelah adalah dokter.”
Gadis itu menatap Jarvis dengan dalam. “Siapa yang bikin gue kayak gini? Bokap lo?”
Meski berat, Jarvis tetap memgangguk. “Iya.” Ia meraih tangan Kania dan memggenggamnya erat. “Maaf, gue gak bisa jaga lo dengan baik, Ni.”
“Gak perlu minta maaf, nyawa gue masih ada, kok,” jawab Kania dengan santai. “Jadi, apa kata dokter?”
“Lo keracunan makanan. Ada kemungkinan udang yang lo makan enggak bersih. Selain itu, di makanan lo juga ada racun. Lambung lo luka, makanya lo muntah darah. Lo harus banyak minum dan makan yang lunak untuk beberapa hari ke depan.” Jarvis membawa obat di atas nakas. “Dan ini obat lo.”
“Wow. Gue gak akan overdosis? Gue gak akan mati karena obat ini, kan?” canda Kania saat melihat 5 jenis obat dengan aneka ukuran.
Jarvis mengeratkan pegangan tangan mereka. “Jangan ngomong sembarangan, pakai bahas mati segala. Lo gak tahu gimana paniknya gue lihat lo muntah darah. Gue hampir gila karena badan lo makin dingin.”
Bukannya merasa terharu, Kania malah terkekeh geli. “I'm okay, Jar. I'm totally okay. Gue udah sering kena pisau, jatuh di tangga, bahkan ketimpa pot bunga. Tapi lihat, gue masih hidup. Racun bokap lo gak mempan buat bikin gue mati.”
Detik berikutnya, Jarvis menarik Kania ke dalam pelukan. Dia menghirup aroma tubuh gadis itu dalam-dalam, sampai memenuhi kedua parunya. Jarvis mendekap tubuh Kania begitu erat seakan perpisahan yang akan mereka hadapi selanjutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Caliginous [Tamat]
General FictionJangan terlalu percaya dengan apa yang matamu tunjukkan tentang dunia dan isinya. Dunia selalu penuh tipu daya dan manusia selalu berkamuflase. Begitu pula tentang Jarvis dan Kania. Mereka memiliki banyak rahasia yang ditutupi dengan kepura-puraan. ...