Kania selalu percaya bahwa hidup bukan milik kita sepenuhnya. Ada beberapa kewajiban yang harus dijalankan untuk memenuhi hak orang lain. Dan kadang, kita harus berlapang dada jika orang lain tidak melakukan kewajibannya untuk memenuhi hak kita.
Sejak mangkirnya kehadiran sang papa di ulang tahun keenam, ditambah dengan ucapan provokatif dari mamanya, Kania sadar bahwa hidup kadang tak berjalan sesuai harapan. Entah siang, sore, atau malam, pasti ada saja kejadian yang membuat patahnya ekspektasi di pagi hari.
“Mama pergi, Kania. Jangan pernah cari mama atau berharap mama akan kembali suatu hari nanti. Mulai sekarang, kamu harus hidup sendiri, jangan bergantung pada orang lain. Anggap saja kamu tidak punya mama. Anggap saja mama sudah mati.”
Hari itu, Kania umur 7 tahun hanya bisa terbengong di ambang pintu saat mamanya bergegas pergi seraya membawa koper. Dia hanya bisa menatap nanar taksi yang membawa mamanya menjauh, tanpa berusaha mencegah sedikit pun.
Ah, mama sudah gak mau jadi mama aku. Mama mau menjalani hidupnya sendiri, tanpa aku, tanpa kakek dan nenek, tanpa papa. Mama mau mengejar kebahagiaannya. Mama menolak kehadiran aku dalam hidupnya.
Angka 8 di kolom matematika rapot kelas 3 hanya berakhir terabaikan di dalam tas hitam Kania, tanpa pernah ditunjukkan pada mamanya dengan penuh bangga.
“Memang, istri saya sudah tahu tentang Kania. Tapi, untuk menerimanya di rumah kami, itu tidak mungkin. Anak-anak saya juga tidak tahu apa-apa. Mereka pasti akan kaget, kecewa, bahkan bisa marah sama saya. Belum lagi kalau ketahuan sama orang luar, Bu. Itu bisa jadi masalah untuk perusahaan.”
Cara sang papa menolak lebih kejam lagi. Beliau enggan tinggal satu atap dengan Kania karena tidak mau membuat kecewa anaknya yang lain. Beliau tidak mau tinggal dengan Kania karena itu akan berpengaruh buruk untuk perusahaan.
Meski tidak pernah diperlakukan penuh cinta, setidaknya Kania tidak pernah dianggap aib oleh mamanya. Namun, sang papa lain. Beliau selalu menunjukkan sikap penuh kasih sayang, tetapi berpendapat bahwa Kania adalah anak yang tidak boleh diketahui publik.
Dua cara meninggalkan Kania itu tidak seberapa dengan yang dilakukan Jarvis.
“Gue seneng bisa kenal lo, Kania. Gue seneng bisa deket sama lo, berbagi rahasia sama lo, dan jatuh cinta sama lo. I love you, Kania.”
Kania bersumpah, tidak ada laki-laki yang lebih brengsek dari Jarvis Althaf Kendrick. Setelah menyatakan perasaannya, mencium, mengurung dalam kamar, sekarang dia menghilang entah ke mana. Jarvis merasa dia adalah pahlawan super sehingga berani menemui monster seorang diri. Dia kira, Kania akan senang dan berterima kasih atas hal itu? Tidak sama sekali!
“Kania,” panggil Nenek Sima yang baru saja muncul dari balik pintu kamar. “Makan dulu, ya, Sayang? Lihat badan kamu, kurus sekali.”
“Aku gak lapar, Nek,” balas Kania, tanpa melirik neneknya sedikit pun.
Nenek Sima mengembuskan napas panjang. Beliau masuk ke kamar cucunya dan duduk di ujung ranjang. “Sudah 3 hari makan kamu berantakan. Kalau begini terus, nanti kamu sakit. Nenek, kakek, sama papa kamu khawatir. Lihat, wajah kamu pucat sekali.”
“Nek, aku gak lapar. Aku gak selera buat makan.”
Tangan Nenek Sima terulur untuk mengusap punggung putrinya. Tiga hari tak menerima asupan makanan yang layak, tangan beliau bisa merasakan tulang punggung cucunya.
“Nenek paham, kamu sedang merasa kehilangan atas Nak Jarvis. Tapi, jangan kayak gini, jangan menyiksa diri sendiri. Kalau kamu sakit, pasti Nak Jarvis juga tidak akan senang. Kalau nanti Nak Jarvis sudah ditemukan dan kamu malah masuk rumah sakit, kan, kalian tidak bisa menghabiskan waktu bersama,” rayu Nenek Sima, berusaha meruntuhkan ego Kania.
KAMU SEDANG MEMBACA
Caliginous [Tamat]
General FictionJangan terlalu percaya dengan apa yang matamu tunjukkan tentang dunia dan isinya. Dunia selalu penuh tipu daya dan manusia selalu berkamuflase. Begitu pula tentang Jarvis dan Kania. Mereka memiliki banyak rahasia yang ditutupi dengan kepura-puraan. ...