26. Black Hole

1.5K 288 60
                                    

Langkah Kania langsung terhenti saat mendapati Jarvis sudah berdiri di depan kelas. Bukan hanya Kania, teman sekelasnya juga langsung berhenti. Mereka tidak menyangka bahwa sang bintang sekolah ada di hadapan mereka, sedang melempar senyum pada kekasihnya.

“Mau makan apa hari ini?” tanya Jarvis. Dia tidak peduli jika pertanyaannya bisa didengar oleh orang banyak. “Gue denger, hari ini ada nasi goreng seafood. Lo suka?”

Meski ragu, Kania tetap mengangguk. “Ya, gue suka.”

“Oke, kita makan itu aja. Yuk?”

Kania hanya pasrah saat Jarvis menghampiri dan menggenggam tangannya. Dia tidak memedulikan pekikan siswa lain yang merasa iri dengan apa yang dialaminya. Yang Kania lakukan hanya mengikuti arus yang sudah Jarvis buat. Dia balik menggenggam tangan lelaki itu dan mengikuti ke mana ia melangkah.

“Gue udah kasih tahu lo atau belum, sih?” Jarvis kembali bersuara. “Bunda gue pulang malam ini. Dia bakal take off jam 7 dari Sidney. Itu juga kalau enggak delay. Dan bunda juga minta dijemput sama kita.”

“Kita?”

“Iya, kita. Lo sama gue.” Jarvis melirik Kania sembari tersenyum tipis. “Bunda excited banget buat ketemu sama lo. Kayaknya, lebih semangat buat ketemu lo, dibandingkan gue.”

Kania juga ikut tersenyum mendengar ocehan Jarvis. “Mungkin itu cuma yang kelihatannya aja. Gue yakin, nyokap lo sebenarnya lebih pengen ketemu sama lo. Pasti dia udah kangen banget sama lo.”

“Tapi, gue bisa merasakan kecanggungan yang sama dari bunda. Dibandingkan ibu dan anak, kita lebih kayak orang asing yang akan dipertemukan untuk pertama kalinya.” Jarvis menarik tubuh Kania untuk berdiri di depannya, antre lebih dulu. “Dan sampai saat ini, gue gak tahu harus berkata dan berekspresi kayak gimana kalau nanti ketemu dia.”

Just be yourself. As always, like this,” jawab Kania dengan santai.

“Gue bisa kayak gini cuma saat bareng lo. Enggak saat berhadapan sama orang lain. Termasuk bunda,” bisik Jarvis. Lalu, tanpa malu, dia mengedipkan sebelah matanya. “Jadi, lo harus bangga karena lo spesial buat gue.”

Kania berdecih sembari memalingkan wajah. Walaupun dia sudah memberi isyarat jelas mengenai perasaannya, tetapi Kania tidak pernah biasa dengan sikap narsis Jarvis. Sungguh, itu sangat menyebalkan.

Kemudian, Kania kembali melirik lelaki itu. Ia kembali teringat ucapan Jarvis kemarin.

“Gue juga sama, Ni. Gue gak bisa kehilangan lo. And I'm so sorry for that.”

Tidak pernah ada protes dari bibir Kania mengenai apa yang terjadi pada hidupnya, apa yang telah menimpanya. Dia menerima semuanya dengan lapang dada, terkesan santai. Namun, kali ini, bolehkah Kania melayangkan protes?

Di saat ia dan Jarvis mulai membutuhkan satu sama lain, mulai saling menginginkan, mengapa Tuhan mengirimkan seseorang yang menempatkan mereka dalam masa sulit? Mengapa Tuhan membiarkan orang lain masuk dan memporakporandakan apa yang telah Kania dan Jarvis bangun? Dan ... mengapa orang itu harus ayah Jarvis?

“Bukannya yang lain salmon, ya? Kok, kita dikasih udang?” protes Jarvis sembari menunjuk piring makan siangnya.

“Salmonnya habis, Den, tinggal udang. Gak apa-apa, ya?” jawab petugas kantin.

Jarvis hendak kembali melayangkan protes, tetapi ia melihat Kania menggeleng, memberi kode agar dia tidak menimbulkan masalah. Mau tidak mau, Jarvis harus meredam emosinya. Ia sedang di sekolah, di hadapan umum.

Meski ingin meledak, Jarvis berusaha menampilkan senyum manis. “Gak apa-apa. Tapi, tolong lain kali salmonnya dibanyakin, ya, Bu? Saya lebih suka salmon dibandingkan udang.”

Caliginous [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang