Extra Part 2. Come Home

1.2K 163 4
                                    

Bagas baru saja hendak membuka gerbang rumahnya, tetapi batal begitu melihat Kania keluar dengan pakaian rapi. Maksudnya, dia mengenakan celana jins panjang, kaus hitam yang dilalui kemeja flanel biru, juga sling bag biru muda. Ia juga mengenakan bando hitam, sesuatu yang sangat jarang terlihat.

Pemuda itu mundur dan segera menghadap Kania. “Lo mau ke mana?”

Kania terperanjat. Ia mengira tidak ada siapa-siapa di jalanan kompleks. Ternyata, Bagas adalah warga pertama yang beraktivitas. Secepat kilat, Kania berusaha mengendalikan ekspresinya.

“Mau cari angin.”

Kening Bagas berkerut. “Emang angin jam enam pagi di kompleks kita kurang seger sampai lo harus cari ke tempat lain? Pakai acara mandi dulu segala lagi. Pakai bando juga.”

Refleks Kania menyentuh bando di kepalanya—hadiah dari Jarvis. “Deswita pernah bilang gue lebih cantik kalau pakai bando. Dan kebetulan gue juga punya banyak. Jadi, gak ada salahnya gue pakai satu buat ke luar.”

Bagas mengembuskan napas panjang sembari melipat tangan di depan dada. “Sejak kapan lo peduli sama penampilan? Sejak kapan lo peduli sama pendapat orang lain tentang lo lebih cantik kalau pakai ini atau itu?” Sekarang, dia menyipitkan mata. “Sikap lo ini mencurigakan, lho, Ni.”

Kini, giliran Kania yang mengembuskan napas. “Gue beneran cuma mau cari angin. Otak gue sampek gara-gara UAS kemarin. Mana lo ngajarin gue semua mata pelajaran dari siang sampai malem. Jadi, sekarang gue mau refreshing, me time gitu.”

“Ya udah, kalau gitu tunggu gue. Gue mandi dulu, entar—”

“Gue mau me time, Gas,” potong Kania dengan cepat. “Gak ada omongan gue yang ngajak lo, ya. Gue mau pergi sendiri.”

“Lo gak lihat langitnya agak mendung?” Bagas menunjuk wajah Kania. “Lihat juga mata panda lo itu, nyeremin banget. Hidung lo merah, kayak badut. Suara lo juga mulai serak. Bentar lagi lo sakit, pasti. Makin bahaya kalau sampai lo kehujanan.”

“Lo gak usah khawatir, gue cuma mau ke kafe, gak bakal kehujanan. Mendingan sekarang lo masuk, mandi, terus sarapan. Badan lo baunya gak enak banget.” Kania melangkah, meninggalkan Bagas begitu saja.

“Jangan sampai kehujanan, ya. Kalau mau pulang, telepon gue aja, entar gue jemput. Jangan makan yang dingin!”

Bagas hanya bisa geleng-geleng saat Kania terus menjauh, sama sekali tidak merespons teriakannya. Bahkan, gadis itu sudah mengeluarkan airpods dari sling bag hitamnya, seperti benar-benar tidak mau diganggu oleh lingkungan sekitar.

Jika boleh jujur, Bagas khawatir dengan keadaan Kania akhir-akhir ini. Beberapa kali dia melihat gadis itu bicara sendiri. Raut wajah tenangnya berubah kaget, kesal, lalu sendu. Setelah itu, dia akan bicara sendiri, terkesan menggumal. Seperti biasa, Kania tidak memberi tahu apa yang sedang dia alami. Sekarang, gadis itu tidak memberi tahu ke mana ia pergi. Karena Bagas tahu, cari angin dan kafe hanya bualan.

Kania tidak jujur karena dia ingin sendiri. Dia ingin datang sendiri ke tepi Jalan, pinggir Sungai Ciliwung, tempat Jarvis menghilang. Bukan di kafe dengan atap kokoh, Kania duduk di bangku usang.

“Hai, Jar,” lirihnya, menyapa arus sungai di depan mata. “Udah lama banget gue gak ke sini. Dan ... gue datang lagi bukan karena gue berubah pikiran tentang merelakan lo. Gue cuma ... kangen. Kangen aja sama lo.”

Sembari tersenyum tipis. Kania mengeluarkan makanan dari keresek putih di tangannya. Dia menyimpan sebungkus roti dan susu kotak di sampingnya, seakan sengaja membeli lebih untuk diberikan kepada orang lain. Lalu, dia menggigit roti di tangannya sembari memperhatikan sungai dengan tatapan kosong.

Caliginous [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang