Sejauh ini, hanya satu perbuatan Deswita yang Kania sukai. Saat dia menghadang langkah Kania selepas makan siang dan berkata bahwa waktu akan menyembuhkan luka. Jika memang tidak mampu, biarkan saja luka itu tetap ada. Walaupun masih terasa perih, kita masih memiliki kesempatan untuk menikmati hidup karena hadirnya kebahagiaan yang lain.
Seiring berjalannya waktu, Kania semakin jarang berhalusinasi tentang Jarvis. Dia tidak lagi mendengar ocehan menyebalkan lelaki itu yang bisa membuat dada Kania sesak. Kotak kenangan di antara mereka berdua juga sudah jarang terbuka tanpa izin sehingga membuat Kania ingin memutar waktu. Seiring berjalannya waktu, Kania bisa menerima kenyataan bahwa Jarvis sudah tidak lagi di sisinya.
“Gue masih bingung, kenapa Pak Yoga yang jadi guru kimia gue? Kenapa enggak Bu Eva aja? Atau bisa aja Pak Sensus, biar lebih santai,” gerutu Deswita sembari mendaratkan bokongnya di samping Kania. “Kepala gue rasanya mau pecah pas lihat soal ulangan Laju Reaksi. Gue mendadak gak inget sama semua rumusnya.”
Kania hanya menatap gadis itu dengan sebal. Selalu seperti ini, kedatangannya diiringi suara gaduh yang mengganggu.
Kemudian, Deswita mencondongkan tubuhnya ke arah Kania. “Lo udah ulangan? Dapet nilai berapa?”
“Empat puluh empat.”
Semua kegiatan yang ada di meja itu terhenti seketika. Bukan hanya Deswita yang dibuat bengong. Tian, Irfan, dan Caca juga langsung melirik Kania dengan mata yang setengah mencuat.
“Tenang aja. Kan, ada remedial,” cetus Kania dengan santainya.
“Pulang sekolah nanti, lo belajar sama gue, Ni,” kata Bagas, penuh ketegasan.
“Gak usah, lah. Gue bisa belajar sendiri, kok.”
Caca geleng kepala. “Lo dapet nilai 44 dan masih santai begini? Lo punya masa depan terjamin atau emang gak peduli?”
“Kalau lo belajar sendiri, nilai kimia di rapot lo bisa merah semua,” timpal Tian.
“Mana wajahnya songong begitu lagi, nyebelin banget,” gumam Irfan.
“Pantesan aja lo cuma kedip denger ocehan gue. Ternyata lo seapatis itu tentang nilai? Kok, lo bisa bego banget, sih, Kania? Mana santai banget dapet nilai 44. Bapak lo sultan, ya?”
Kania hanya memutar bola mata malas mendengar Deswita kembali mengoceh. Bapak gue emang sultan, sama kayak bapak lo.
Ini memang sudah kesekian kali Deswita, Tian, Irfan, dan Caca mendengar nilai ulangan Kania yang selalu di bawah KKM. Namun, entah mengapa, mereka masih saja kaget. Yang mengherankan adalah reaksi santai Kania, terkesan tidak peduli. Kadang, dia mirip anak seorang konglomerat yang tidak perlu mengkhawatirkan masa depan.
Bukan hanya menyembuhkan luka, waktu juga mampu mendekatkan yang jauh dan mendamaikan yang bersitegang. Memang tidak ada Jarvis di sana, tetapi Kania tidak makan sendiri. Bahkan, meja yang biasa ditempatinya adalah meja paling ramai di kantin.
Ocehan sombong Deswita, keluhan ke-jomlo-an Tian, sindiran pedas Caca, dan gumaman Irfan saat mengomentari sesuatu, semua itu selalu mengisi makan siang Kania. Jangan lupakan Bagas yang selalu menjadi penengah jika mulai ada percikan pertengkaran di antara mereka. Seperti biasa, Kania terkesan apatis. Dia hanya akan menjadi pendengar, baru bersuara jika sudah diajak bicara.
“Eh, eh, malam Minggu, nih. Hangout, yuk!” Deswita menggandeng tangan Kania dan Caca. “Ke bioskop, terus makan, terus ke Timezone. Gimana?”
“Gue ngikut aja. Daripada diem di kamar, kan? Gak ada temen video call juga.” Tian tampak pasrah.
“Gue juga ikut. Kebetulan, gue mau beli liptint.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Caliginous [Tamat]
Ficción GeneralJangan terlalu percaya dengan apa yang matamu tunjukkan tentang dunia dan isinya. Dunia selalu penuh tipu daya dan manusia selalu berkamuflase. Begitu pula tentang Jarvis dan Kania. Mereka memiliki banyak rahasia yang ditutupi dengan kepura-puraan. ...