Seperti yang diminta Jarvis, Kania setia menunggu di depan gerbang sekolah. Meski sebagian besar orang sudah meninggalkan sekolah, tetapi Kania masih berdiri di sana, menunggu Jarvis menjemputnya. Rasa cemas Kania langsung luruh saat mendengar deru motor yang sudah sangat ia kenal. Gadis itu segera menghampiri Jarvis.
“Jarvis, lo gak apa-apa? Gak ada luka lagi, kan? Tadi, tangan lo ....”
Kania tidak mampu melanjutkan ucapan saat Jarvis menarik tubuhnya ke dalam pelukan. Bibirnya langsung bungkam, detak jantungnya menggila di balik tulang rusuk.
Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir Jarvis. Pemuda itu hanya memeluk erat dan meletakkan dagunya tepat di puncak kepala Kania. Berulang kali Jarvis menarik napas dalam-dalam dan membuangnya dengan kasar. Jelas sekali ia sedang berusaha mengusir sesak di dada.
Setelah merasa cukup, barulah Jarvis melerai pelukan itu. Dia mengangkat dagu Kania agar bisa bertukar pandang dan bertanya, “Lo gak apa-apa?”
“Gue gak apa-apa,” jawab Kania, seraya menggeleng kecil. Ia meraih tangan Jarvis dan menunjuk sikapnya. “Tapi, lo yang luka. Lihat, sampai berdarah gini. Dan gue yakin, debu jalanan udah masuk ke luka lo.”
“Gue gak apa-apa, kok.” Jarvis menarik kembali tangannya. “Gue antar pulang aja, ya? Besok aja main ke apartemen guenya. Lo pasti kaget sama kejadian barusan. Gue juga perlu istirahat.”
Setelah 3 bulan mereka bersama, Kania tahu pasti bahwa Jarvis bukan orang yang senang mengganti rencana secara mendadak. Jarvis selalu konsisten, apalagi mengenai sesuatu yang dia inginkan. Namun, rasanya sekarang bukan waktu yang tepat untuk berdebat.
“Oke, lo antar gue pulang. Tapi nanti, setelah kita bersihin luka lo dulu.”
“Gue bisa sendiri, Ni.”
Kania menggeleng. “Gue yakin, lo gak akan bersihin luka lo. Lo akan biarin luka ini.” Lagi, Kania meraih tangan Jarvis. Kali ini, ia menggenggamnya lumayan erat. “Gak akan lama, kok. Gak ada salahnya lo turuti omongan gue.”
Untuk kesekian kali, Jarvis membuang napas panjang. Meski berat hati—karena masih takut orang itu akan kembali—Jarvis tetap mengekori Kania menuju UKS. Karena ia juga berpikir sama, ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat.
“Lain kali, jangan main pergi gitu aja. Lo harus periksa dulu keadaan lo sebelum kasih pelajaran sama orang lain,” ucap Kania sembari mengeluarkan alkohol dari kotak P3K. “Gue gak tahu rasanya gimana. Tapi, Bagas pernah nangis karena luka kayak gini.”
Di sisa kewarasan Jarvis yang tinggal sedikit, ucapan Kania mampu membuatnya tersenyum miring. “Itu anak sering nangis, ya?”
“Waktu itu dia masih SMP, jadi wajar. Tapi, gue berpikir rasanya pasti menyakitkan, sampai bisa bikin cowok nangis.” Dengan penuh hati-hati, Kania menempelkan kapas beralkohol ke luka Jarvis.
“Gak sakit-sakit amat, kok. Bahkan, gue gak sadar kalau sikut gue luka, gak kerasa. Gue juga masih bisa bawa motor,” timpal Jarvis. “Emang si Bagas aja yang cengeng, bukan karena lukanya sakit.”
“Jarvis, ini bukan waktu yang tepat buat narsis.”
Jarvis terkekeh geli. “Gue bicara fakta. Kalau lo bisa ngerasain sakit, pasti lo juga biasa aja. Lo pasti masih bisa adu jotos sama Deswita.”
Karena kesal, Kania menekan kapas itu keras-keras. Dia tersenyum saat mendengar teriakan Jarvis. “Masih berani bilang gak sakit? Teriakan lo barusan lumayan kenceng, lho.”
“Rese lo!” dengkus Jarvis.
Tidak ada sahutan apa-apa lagi dari Kania. Dia fokus membersihkan luka dengan teliti. Dan Jarvis juga tidak bersuara lagi. Seluruh atensinya terfokus pada Kania.
KAMU SEDANG MEMBACA
Caliginous [Tamat]
General FictionJangan terlalu percaya dengan apa yang matamu tunjukkan tentang dunia dan isinya. Dunia selalu penuh tipu daya dan manusia selalu berkamuflase. Begitu pula tentang Jarvis dan Kania. Mereka memiliki banyak rahasia yang ditutupi dengan kepura-puraan. ...