Pak Yoga memijit pangkal hidungnya yang berdenyut sejak beberapa menit yang lalu. Pikirannya bercabang.
Walaupun Jarvis bisa dipercaya, tetapi bagaimana jika mobil putih kesayangannya lecet? Dan bagaimana bisa ada tragedi semacam ini? Bagaimana bila keluarga siswi yang menjadi korban berniat melaporkan kejadian ini ke polisi? Apa yang akan terjadi dengan reputasi sekolah nantinya?
Lelaki 50 tahun itu mengembuskan napas kasar. Ia menatap dua siswa yang diminta berkumpul di ruang Bimbingan Konseling. Mereka semua adalah saksi utama dari tragedi pot jatuh 1 jam yang lalu.
“Jadi, siapa yang menjatuhkan pot itu?” tanya beliau. Nada bicara dan raut wajahnya saat ini ebih menyeramkan dari biasanya.
“Sa-saya, Pak,” jawab Tian. Meski takut setengah mati, dia tetap harus mengakui kesalahannya. “Tapi, saya gak sengaja, Pak. Saya refleks dorong pot itu karena didorong sama Caca. Tadinya mau pegangan ke tembok, tapi tangan saya meleset.”
Kini, pandangan Pak Yoga beralih pada tersangka lain. “Caca?”
“Saya juga gak sengaja, Pak,” sahut Caca dengan cepat. “Tubuh saya juga ada yang dorong. Saya mau pegangan sama Tian, bukan mau dorong dia. Saya gak ada maksud mencelakai siapa pun.”
Sontak saja dahi Pak Yoga berkerut. “Ada yang dorong kamu? Siapa?”
Caca menggeleng. “Gak tahu, Pak. Seingat saya gak ada siapa-siapa di belakang saya, cuma ada Jarvis. Tapi, gak mungkin juga Jarvis yang dorong saya.”
Napas Tian tercekat seketika. Ia melotot ke arah Caca. “Jangan-jangan, itu penghuni lain di kelas kita?”
“Maksud lo ... setan?” Caca langsung beringsut, mendekat ke Tian. “Berarti, gue didorong sama setan, dong?”
“Gue pernah denger kalau di kelas kita emang ada penghuninya, Ca. Dan katanya, salah satu satpam sekolah juga pernah lihat cewek—”
“Mana ada setan di siang bolong begini, Septian!” potong Pak Yoga, setengah berteriak.
Tian menggaruk kepalanya. “Namanya juga setan, Pak. Bisa aja mereka gak kenal waktu. Kalau mau senang-senang, ya, tinggal ngerjain manusia aja.”
Pak Yoga membuang napas kasar. Mencari kebenaran dari teman sekelas Jarvis hanya membuat kepalanya semakin pening. Kegelisahannya semakin besar dari sebelumnya. Tidak ada cara lain, beliau harus ke rumah sakit untuk meminimalisir risiko, terutama tercorengnya nama sekolah.
Dengan langkah panjang, Pak Yoga menelusuri koridor rumah sakit. Beliau langsung melambai dan tersenyum pada Jarvis yang duduk di depan UGD.
“Bagaimana keadaan ....” Kalimat Pak Yoga menggantung. Beliau malah menatap Jarvis dengan penuh kebingungan.
“Kania. Namanya Kania, Pak,” ucap Jarvis, mengerti akan arti tatapan Pak Yoga.
“Ya, dia. Maksud saya Kania. Bagaimana keadaannya?”
“Dari yang saya dengar, luka di kepala Kania lumayan parah, Pak. Tapi, untungnya tidak sampai memerlukan tindakan operasi. Dokter hanya perlu menjahit lukanya. Dan pendarahannya juga berhasil ditangani,” jelas Jarvis.
Kekhawatiran Pak Yoga sedikit berkurang setelah mendengar penjelasan Jarvis. Urat-urat di kepalanya berhasil mendapatkan relaksasi. Dan ketegangan di seluruh tubuhnya perlahan menghilang.
“Orang tua Kania sudah diberi tahu? Mereka datang kemari juga?”
Jarvis menggeleng. “Hanya ada kakek dan neneknya, Pak.”
Tak berselang lama, pintu UGD terbuka. Muncullah Bagas dan kakek nenek Kania. Mereka sempat bertukar sama dengan Pak Yoga. Lalu, guru kimia itu mendekati Kakek Hasbi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Caliginous [Tamat]
General FictionJangan terlalu percaya dengan apa yang matamu tunjukkan tentang dunia dan isinya. Dunia selalu penuh tipu daya dan manusia selalu berkamuflase. Begitu pula tentang Jarvis dan Kania. Mereka memiliki banyak rahasia yang ditutupi dengan kepura-puraan. ...