Meskipun selalu memasang wajah judes, tetapi Jarvis tahu bagaimana wajah Kania saat dia tersenyum. Dia tahu bagaimana perubahan wajah tegang gadis itu yang menjadi rileks saat sudut bibirnya terangkat. Dan bukan hanya sekali atau dua kali, Jarvis bisa melihat Kania tersenyum 3 kali dalam seminggu.
Dan tidak semua hal bisa membuat gadis itu tersenyum. Kania bukanlah anak muda ramah yang akan menebar senyum pada orang tua yang tinggal satu kompleks dengannya. Dia juga selalu memasang wajah datar saat berhadapan dengan kasir mini market. Ia selalu cemberut saat antre makan siang di kantin sekolah—entah karena lapar atau memang tidak ada alasan untuk tersenyum.
Yang bisa membuat Kania tersenyum adalah foto atau video lucu di sosial media. Itupun tidak semuanya. Hanya foto dan video lucu yang mampu menyentuh selera humor Kania yang bisa membuatnya tersenyum. Catat, tersenyum, bukan tertawa.
Setelah cukup sering melihat Kania tersenyum—tiga kali dalam seminggu—mengapa yang kemarin mampu membuat Jarvis menghentikan aksinya? Setelah 1 bulan lebih mereka saling mengenal, berbagi rahasia, dan berbagi tempat untuk menjadi diri sendiri, mengapa Jarvis mampu terpengaruh begitu besar hanya karena senyum Kania yang melihat video kucing?
“Kak Jarvis!”
Hampir saja Jarvis mengumpat saat bahunya ditepuk lumayan keras. Dia menoleh, lalu memaksakan senyumnya. “Hai, Des. Selamat pagi,” sapa Jarvis.
Hati Deswita semakin berbunga-bunga. Senyumnya jauh lebih lebar dibandingkan Jarvis. “Pagi, Kak,” balasnya. “Kak Jarvis ngapain bengong di sini terus? Ada yang ketinggalan di rumah?”
“Enggak. Ini mau jalan, kok.”
Jarvis melepas helmnya dan segera melangkah keluar dari barisan motor para siswa. Dia harus bersikap senormal mungkin. Jangan sampai ada yang tahu ia mematung beberapa menit di sana hanya untuk memperhatikan Kania dari kejauhan.
“Kak?”
“Ya?” sahut Jarvis dengan cepat.
“Aku mau tanya mengenai kejadian kemarin.” Walaupun ada takut di hatinya, Deswita harus memastikan ini pada Jarvis. “Kania terima perasaan Kak Jarvis? Maksudnya, dia mau jadi pacar Kakak? Atau ... dia nolak?” Deswita tersenyum sumbang. “Soalnya, kemarin aku sempet ngobrol sama Kania. Dan dia bilang, Kak Jarvis yang kejar-kejar dia. Dia sama sekali gak ada perasaan apa—”
“Emang gue yang kejar-kejar Kania,” potong Jarvis dengan cepat. Entah mengapa, dia tidak suka dengan kalimat lengkap yang akan keluar dari bibir Deswita. “Gue akui, gue yang kejar Kania dan ngebet banget buat jadi pacar dia. Tapi, perasaan gue ini gak bertepuk sebelah tangan, kok. Kania juga mau sama gue. Dia mau jadi pacar gue.”
Langkah Deswita terhenti seketika. Jangan tanya seperti apa perasaannya saat ini. Semua harapan atas Jarvis tiba-tiba hancur setelah mendengar ucapan lelaki itu. Posisi yang selama ini Deswita incar, kini menjadi milik Kania. Semua perjuangan untuk bisa meluluhkan hati Jarvis lenyap sia-sia.
“Jadi ....”
Kini, giliran Jarvis yang menghentikan langkahnya. Dia berbalik, menyadari Deswita sudah ada di belakang. “Ya?”
“Jadi, kalian udah resmi pacaran?” Meskipun suaranya bergetar, Deswita tetap memaksakan diri untuk mengajukan pertanyaan.
Tanpa ragu, Jarvis mengangguk. “Iya, kita resmi pacaran.”
“Kenapa, Kak?”
“Kenapa apanya?”
“Kenapa harus Kania?” Suara Deswita semakin kecil. Napasnya mulai tercekat dan matanya mulai berkaca-kaca. “Selama setahun ini, aku selalu berusaha untuk bisa dekat sama Kak Jarvis. Bahkan aku yakin, Kak Jarvis tahu aku bukan cuma mau jadi teman, tapi lebih dari itu. Tapi, kenapa Kania yang harus jadi pacar Kak Jarvis? Kenapa enggak aku aja?”

KAMU SEDANG MEMBACA
Caliginous [Tamat]
Ficción GeneralJangan terlalu percaya dengan apa yang matamu tunjukkan tentang dunia dan isinya. Dunia selalu penuh tipu daya dan manusia selalu berkamuflase. Begitu pula tentang Jarvis dan Kania. Mereka memiliki banyak rahasia yang ditutupi dengan kepura-puraan. ...