Gak apa-apa gak bisa diantar papa, masih ada kakek, kok. Gue masih beruntung bisa duduk nyaman di jok mobil, anak lain harus naik ojek atau angkot. Gak apa-apa. Siapa tahu suatu hari nanti papa mau dan bisa anterin gue sekolah.
Kania selalu berusaha menghibur diri setiap kali diantar sekolah oleh kakeknya. Dia selalu mengucapkan kalimat penghibur untuk mengalihkan keinginannya diantar sekolah oleh sang papa, seperti siswa lain. Kania selalu menanamkan keyakinan bahwa pasti momen itu akan datang. Suatu hari nanti. Entah kapan waktu pastinya, tetapi suatu hari nanti.
“Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk minta bantuan Nak Jarvis, ya.”
Kania membungkuk, menatap kakeknya yang tersenyum penuh arti. “Kek, harus berapa kali aku bilang kalau kita gak ada apa-apa?”
“Udah, gak perlu ditutupi begitu. Kakek juga pernah muda, Kania,” jawab Kakek Hasbi. Sekarang, beliau sudah menaikturunkan alisnya. “Semoga sukses, ya. Semoga hari ini berjalan dengan menyenangkan. Kakek pulang dulu.”
Godaan tentang Jarvis ternyata masih berlangsung. Kania kira akan berhenti hanya sampai makan malam saja. Namun, sudah seminggu berlalu, sepasang suami istri senja itu terus saja menggoda Kania.
“Semangat belajarnya, ya, Sayang. Kalau ada apa-apa langsung telepon papa.”
Tanpa bisa ditahan, Kania langsung menoleh ke sumber suara. Ia berusaha memberikan tatapan sedatar mungkin saat tahu bahwa itu adalah Deswita dan papanya.
“Iya, Pa. Papa juga semangat kerjanya, ya. Papa udah janji kita bakal liburan keliling Eropa, lho.”
“Iya, Sayang. Papa pasti akan tepati janji papa. Apa yang enggak buat anak kesayangan papa ini, sih?” Pria paruh baya dengan setelan jas lengkap dan rapi itu mengusap puncak kepala Deswita. “Papa pergi, ya. Dadah.”
“Dadah, Papa!” Deswita melambaikan tangannya dengan penuh riang.
Papa Deswita mundur perlahan sembari membalas lambaian tangan putrinya. Beliau berbalik, siap membuka pintu mobil dan segera pergi ke kantor. Hanya saja, di saat tangannya sudah siap menyentuh pintu mobil, papa Deswita justru menoleh ke arah Kania.
Dan saat itu juga, Kania langsung mengalihkan pandangannya. Dia tidak mau ketahuan sedang memperhatikan interaksi manis Deswita dan papanya.
“Eh, Kak Jarvis?” gumam Deswita saat melihat lelaki pujaannya berdiri di depan gerbang. Dia sudah mengangkat tangan, siap menyapa Jarvis. “Kak—”
“Kania!”
Bukan hanya Kania, beberapa orang di sana juga ikut menoleh begitu mendengar suara Jarvis. Lalu, secara bersaman, mereka melirik Kania yang masih mematung.
“Ngapain malah diem di sana? Sini, bentar lagi bel. Gue anter ke kelas,” ucap Jarvis.
Kania melirik Deswita lebih dulu. Setelah melihat adanya garis amarah di wajahnya, barulah gadis itu melangkah, mendekati Jarvis. Pemuda itu tak sungkan untuk melemparkan senyum andalannya—senyum lebar yang membuat matanya menghilang. Dan begitu Kania sudah ada di dekatnya, Jarvis langsung berbalik sehingga mereka melangkah beriringan.
“Lo sengaja teriak kayak barusan supaya semua orang berasumsi kita deket, kan?” cetus Kania, lengkap dengan wajah galaknya.
“Itu bukan asumsi doang kali. Lo tahu sifat asli gue dan gue tahu rahasia lo. Emang kenyataannya kita deket, kan?” Jarvis malah balik bertanya. Dia memasukkan telapak tangan ke saku celana, membuat bahunya terlihat sangat tegap dan lebar. “Dan gue juga yakin, lo mau samperin gue karena di sana ada Deswita. Seharusnya lo bilang makasih, lho, karena gue udah bikin dia panas hati.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Caliginous [Tamat]
General FictionJangan terlalu percaya dengan apa yang matamu tunjukkan tentang dunia dan isinya. Dunia selalu penuh tipu daya dan manusia selalu berkamuflase. Begitu pula tentang Jarvis dan Kania. Mereka memiliki banyak rahasia yang ditutupi dengan kepura-puraan. ...