Kania turun dari motor Bagas. Dia segera melepas helm dan meninggalkan laki-laki itu begitu saja. Kaki jenjangnya mengayun menuju seseorang yang duduk di depan gerbang rumahnya. Dengan sekali entakan, Kania memukul helm orang itu tanpa ampun dan menendang tulang keringnya sekuat tenaga.
“Lo gila, ya?!” pekik Jarvis sembari turun dari motornya. Dia terduduk di tepi jalan sembari mengusap kakinya yang berdenyut sakit. Dia memang psikopat, tetapi sel tubuhnya masih merespons aksi dari luar dengan baik. Apalagi sebrutal ini.
“Lo yang gila!” hardik Kania. Tanpa ada ragu sedikit pun, dia menoyor kepala Jarvis sampai terjengkang. “Seenaknya aja lo ajak gue pacaran di depan umum, lo bisik-bisik di telinga gue sampai bikin orang lain salah paham, lo juga bilang kita pacaran mulai hari ini, terus lo pergi gitu aja. Otak lo masih berfungsi, gak, sih?!”
“Terus gue harus gimana? Kasih bunga sama cokelat, terus baca puisi romantis juga? Gitu?!” tanya Jarvis, ikut berteriak. Untuk pertama kalinya, dia yang menengadah saat bicara dengan Kania.
“Kalau lo mau memulai sesuatu, lo harus selesaikan itu sampai akhir. Enggak pergi gitu aja!”
Jarvis tersenyum miring. “Oh, lo mau gue ajak pulang juga? Perlu gelar karpet merah, ya? Ngomong dari tadi, dong!”
“Jarvis!” teriak Kania.
“Iya, Kania? Kenapa? Jangan teriak-teriak, nanti tenggorokan lo sakit,” balas Jarvis dengan nada lembut, lengkap dengan senyum manisnya.
Kania hanya bisa mengembuskan napas kasar dan membuang pandangan dari pemuda itu. Terlalu lama berhadapan dengan Jarvis tidak sehat untuk jantung dan juga otak. Lama-lama, Kania juga bisa ikut gila.
Sementara itu, Jarvis segera bangkit dari duduknya. Dia membuka helm dan kembali naik motor, berniat masuk ke halaman rumah Kania. Namun, matanya tidak sengaja menangkap seseorang yang sedari tadi memperhatikan interaksinya dengan Kania. Dan Jarvis paham betul mengapa Bagas masih berdiri di sana, tidak kunjung masuk ke rumahnya.
“Lo hebat, ya, Ni. Baru setengah jam yang lalu jadi pacar gue. Eh, udah diantar pulang sama cowok lain aja.”
Kening Kania berkerut, tak paham dengan maksud Jarvis. Saat ia mengikuti arah pandang lelaki itu, barulah Kania mengerti. “Ternyata lo belum masuk. Perasaan, gak ada barang lo yang dititip ke gue, deh.”
Tidak langsung menjawab. Bagas melangkah dan mendekati Kania. Dia melemparkan lirikan tak suka pada Jarvis. “Kakek sama nenek lo masih di luar, kan? Gue temenin aja.”
“Gue bukan bocah, Gas. Gak perlu ditemenin segala,” jawab Kania.
“Gue tahu, lo bukan bocah. Lo emang udah gede. Tapi, gue gak akan tenang biarin lo ada dalam satu ruangan sama orang lain,” timpal Bagas, sembari melirik sekilas pada Jarvis. “Ayo, masuk. Gue temenin sampai kakek nenek lo pulang.”
Belum sempat Bagas mengambil langkah pertama, pergerakannya langsung terhenti saat Jarvis menepuk bahunya. Dia berbalik dan mendapati lelaki itu sudah tersenyum padanya.
“Lo gak usah khawatir kayak gitu, Kania aman sama gue. Gue udah sangat sering datang ke sini dan kakek nenek Kania juga udah percaya sama gue. Dan gue juga bukan orang lain.” Jarvis beralih melihat Kania. “Gue pacar Kania.”
“Tapi, Kania gak pernah jawab iya buat ocehan lo di sekolah tadi. Dia gak bilang dia mau jadi pacar lo,” ucap Bagas, penuh penekanan. Dia sudah berbalik dan menepis tangan Jarvis dari bahunya. “Jadi, lo masih orang lain. Karena memulai sebuah hubungan perlu kesediaan dua belah pihak.”
“Ya udah, tanya aja sama Kania. Dia mau atau enggak jadi pacar gue.”
Sontak saja Bagas melirik Kania. “Ni?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Caliginous [Tamat]
General FictionJangan terlalu percaya dengan apa yang matamu tunjukkan tentang dunia dan isinya. Dunia selalu penuh tipu daya dan manusia selalu berkamuflase. Begitu pula tentang Jarvis dan Kania. Mereka memiliki banyak rahasia yang ditutupi dengan kepura-puraan. ...