Dua minggu ini sangat melelahkan untuk Kania. Otaknya diperas habis oleh Bagas, terus ditekan menerima sejumlah pelajaran yang belum dikuasainya. Seakan tidak paham bahwa proses berpikir Kania agak lamban, Deswita selalu menghasut para sahabatnya untuk pergi ke Lippo Mall Puri meski UAS masih berlangsung.
Setelah semua itu, istirahat Kania selalu diganggu oleh bisikan halus yang ia benci dan rindu dalam waktu bersamaan.
"Jangan belajar terlalu keras, lah. Mending lo diremedial daripada diinfus."
"Kan, gue udah kasih tahu, Bagas itu suka sama lo, Ni. Kenapa makin ke sini lo makin nempel sama dia, sih?!"
"Kalau terus pilih kasih, mending lo usir aja bokap lo itu. Heran, udah tua, tapi masih aja gak ngerti keadilan."
Kania selalu frustrasi tidurnya diganggu, tetapi selalu enggan bangun. Karena ia tahu, suara itu akan menghilang saat ia membuka mata. Lalu, yang tersisa hanya hampa sekaligus rindu yang semakin menggunung.
Dan sekarang, untuk ke sekian kali, Kania terjebak dalam situasi itu lagi. Di mana ia bisa mendengar suara Jarvis begitu jelas, tetapi Kania enggan membuka mata.
"Suhu tubuh pasien sudah normal, jadi suhu ruangannya bisa disesuaikan. Dan kalau nanti pasien sadar, tolong diberi air hangat, ya. Pelan-pelan, jangan banyak sekaligus."
"Baik, Dok."
Suara itu terdengar begitu dekat dan nyata. Kania ingin melihat sosoknya, tetapi takut dikecewakan kenyataan.
"Nak Jarvis isi perut dulu. Dari kemarin, nenek belum lihat Nak Jarvis makan. Tadi kakeknya Kania udah beli nasi, dimakan dulu, Nak."
"Nanti saja, Nek. Saya gak selera makan. Gak bisa tenang kalau Kania belum sadar."
Jar, jangan siksa gue kayak gini. Gue mohon.
Di tengah keputusasaan, Kania bisa merasakan sentuhan di pipinya. Walaupun sudah berbulan-bulan, tetapi Kania masih bisa mengenali sentuhan Jarvis. Dia selalu menggerakkan jempolnya dengan lembut, beralih mengusap dahi Kania, lalu menyelipkan rambut panjangnya ke balik daun telinga. Persis seperti yang Kania rasakan sekarang. Dan sentuhan ini terlalu nyata untuk sekadar halusinasi.
"Bangun, Ni. Gue kangen sama lo."
Kania menyerah. Dia tidak bisa lagi bersembunyi di balik kelopak matanya. Biar saja Jarvis pergi saat ia membuka mata. Kania percaya, dia pasti akan datang lagi nanti.
Perlahan tapi pasti, Kania membuka mata. Awalnya hanya putih. Ia mengerjap, memberi waktu pada retina untuk menyesuaikan dengan cahaya ruangan. Pelan-pelan, Kania bisa melihat ke sekeliling.
Di kursi sana, neneknya sedang duduk sembari sibuk dengan ponsel. Di samping beliau, sang kakek sedang tertidur pulas. Lalu, tepat di sisi kanan Kania, ada sosok laki-laki yang termenung sembari menggenggam tangan Kania dengan erat. Sedetik, dua detik, tiga detik. Sampai semenit, sosoknya tak kunjung pergi.
"Jar ...."
Sosok itu langsung menoleh. Wajah sendunya berubah semringah. Lalu, bibirnya melengkung perlahan. "Akhirnya, lo sadar juga, Ni."
Dengan sekali entakan, Kania membangunkan diri. Lalu, dia menarik tangannya dengan kasar. Secepat kilat, tangan itu melayang di udara. Dengan kekuatan ekstra, telapak Kania melayang di pipi sosok yang sangat mirip Jarvis.
Lelaki itu mengerjap dan menatap Kania dengan penuh keterkejutan. Tangannya naik mengusap pipi yang terasa panas. "Aw!"
Kania meraup wajah sosok di hadapannya. Telapak tangannya bersentuhan dengan tangan lain, tidak lagi meleset. "Jar, lo pulang? Ini beneran lo, kan? Ini ... bukan halusinasi gue, kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Caliginous [Tamat]
General FictionJangan terlalu percaya dengan apa yang matamu tunjukkan tentang dunia dan isinya. Dunia selalu penuh tipu daya dan manusia selalu berkamuflase. Begitu pula tentang Jarvis dan Kania. Mereka memiliki banyak rahasia yang ditutupi dengan kepura-puraan. ...