Kania menatap pantulan dirinya di cermin. Seperti biasa, rambut hitam panjangnya digerai, dimaksudkan untuk menutupi bintik-bintik putih di kulit kepala. Dia memakai lotion yang banyak untuk telapak tangannya yang kasar. Ia juga menghias kuku kelingking tangan kanan dengan pewarna, menutupi kecacatannya.
Semua ini Kania lakukan bukan karena dia tidak menerima diri sendiri apa adanya. Justru karena dia berdamai dengan segala kekurangan itu, maka Kania mempercantiknya. Selain itu, ia juga tidak mau membuat orang-orang yang bertemu dengannya merasa tidak nyaman. Kania harus bersikap sopan untuk bisa bergabung di tengah masyarakat normal.
Setelah selesai, Kania bangkit dari duduknya. Dia menyambar sling bag putih yang sudah disiapkan di atas kasur dan meninggalkan kamar.
“Pagi-pagi begini udah cantik aja cucunya kakek. Mau ke mana?” sapa Kakek Hasbi. Beliau sedang membaca koran yang diantar pagi tadi.
“Ketemu Jarvis,” jawab Kania, begitu enteng.
Kakek Hasbi langsung melirik istrinya. Beliau tersenyum lebar, senang karena Kania memiliki kegiatan selain menunggu kedatangan papanya. “Mau jalan-jalan, ya? Jalan-jalan ke mana?”
“Enggak. Kita cuma diem di apartemen Jarvis.”
Nenek Sima ikut menambahkan, “Dijemput?”
“Enggak. Aku udah pesen ojek online.” Kania menyambar flatshoes putih dan segera berjalan menuju teras. “Aku pamit, Kek, Nek.”
“Kania, tunggu,” cegah Nenek Sima. Beliau segera bangkit dari duduknya dan menghampiri sang cucu. “Pulangnya harus diantar Nak Jarvis, ya? Kalau emang gak bisa, telepon nenek, biar kakek yang jemput. Nenek gak tenang kalau nanti kamu pulang naik ojek online.”
Kening Kania berkerut. “Kok, gitu? Kan, aku juga sering naik ojol, Nek.”
“Iya, nenek tahu. Tapi, kompleks ini sedang tidak aman. Waktu belanja sayuran tadi pagi, nenek dengar banyak binatang peliharaan tetangga kita yang mati. Ibunya Bagas juga nangis karena kucing persianya jadi salah satu korban. Padahal, biasanya aman-aman aja. Tapi, tadi malam seperti ada yang teror tempat tinggal kita.”
Tanpa sadar, rahang Kania mengetat keras. Dia yakin, itu adalah ulah Pak Rian. Pasti dia tidak langsung pulang, melainkan berkeliling untuk melampiaskan amarahnya. Untung saja, semalam Kania tidak bertemu lelaki itu saat membuang kotak hadiah ke pembarakan sampah.
“Iya. Nanti, Kania minta Jarvis anterin aja. Nenek gak perlu khawatir.”
Setelah berkata demikian, Kania segera pergi. Meski ada perasaan was-was, tetapi dia harus ke apartemen Jarvis. Kania harus membayar utang menemaninya di apartemen seharian. Selain itu, ia merasa harus di samping Jarvis. Pasti pikiran pemuda itu masih kacau karena kejadian kemarin.
Saat Kania menunggu ojek yang dipesan, tiba-tiba sebuah mobil hitam berhenti tepat di depannya. Seorang pria—dengan perawakan tinggi besar yang mengenakan pakaian serba hitam—turun dan menarik Kania secara paksa. Kekuatannya bukan tandingan gadis itu. Jadi, sekuat apa pun Kania melawan, ujungnya dia tetap terduduk di jok tengah.
“Rian Kendrick?” tebak Kania begitu mobil maju meninggalkan rumahnya.
Lelaki yang duduk di jok depan terkekeh renyah. “Yes, it's me. And i guess you are Kania.”
Kania menghela napas panjang. Pada akhirnya, dia tetap berhadapan langsung dengan monster satu ini. “Apa mau Anda?”
“Bukankah sudah jelas apa mau saya? Tapi, saya lihat, kamu sama sekali tidak menganggap serius peringatan saya. Kamu masih bisa bersolek untuk bertemu Jarvis setelah menerima hadiah itu. Nyali kamu besar juga.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Caliginous [Tamat]
General FictionJangan terlalu percaya dengan apa yang matamu tunjukkan tentang dunia dan isinya. Dunia selalu penuh tipu daya dan manusia selalu berkamuflase. Begitu pula tentang Jarvis dan Kania. Mereka memiliki banyak rahasia yang ditutupi dengan kepura-puraan. ...